oleh Aji Mirni Mawarni
BADAN Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP-RI) dibanjiri kritik buntut kasus belasan Paskibraka terpaksa membuka jilbab saat acara pengukuhan di Istana Negara Ibu Kota Nusantara (IKN), 13 Agustus 2024.
Terkini, 15 Agustus 2024, Kepala BPIP RI, Yudian Wahyudi, menyampaikan permintaan maaf atas “pemberitaan yang berkembang” soal pelepasan jilbab Paskibraka Putri Tingkat Pusat. Namun ia tidak meminta maaf secara khusus atas kebijakan BPIP yang keliru. Padahal itulah titik yang krusial. BPIP juga belum meminta maaf kepada para Paskibraka Muslimah yang terpaksa melepas jilbabnya.
14 Agustus 2024, BPIP mengklaim sepihak bahwa belasan Paskibraka Muslimah membuka jilbabnya secara sukarela, karena mengikuti aturan dan pernyataan yang sudah diteken sebelumnya.
BPIP berdalih, langkah penyeragaman pakaian, penampilan, dan tampang itu untuk merawat “prinsip ketunggalan dalam keseragaman ala Bung Karno”.
Penjelasan itu justru membuktikan BPIP keliru menafsirkan konsitusi negara. Bagaimana tidak? Mereka melakukan tiga kekeliruan fatal sekaligus. Yakni diskriminatif terhadap Muslimah, melanggar konstitusi (Pancasila dan UUD 1945), serta melanggar Hak Asasi Manusia (HAM).
Pertama, BPIP secara terang benderang diskriminatif terhadap Muslimah, karena secara terbuka melarang penggunaan jilbab pada saat pengukuhan Paskibraka dan pengibaran bendera tanggal 17 Agustus 2024.
Hal ini bertentangan dengan prinsip Bhinneka Tunggal Ika, yakni persatuan di dalam keberagaman. Mengapa muslimah dilarang berjilbab saat pengukuhan dan pengibaran bendera? Apa salahnya berjilbab? Bukankah muslimah juga merupakan elemen pembangun negeri tercinta ini?
Kedua, langkah BPIP juga melanggar sila pertama Pancasila, serta Pasal 28 E dan I, juga Pasal 29 UUD 1945. Aturan konstitusi tersebut menjamin kebebasan beribadah bagi setiap warga negara. Dan berjilbab adalah kewajiban sekaligus ibadah bagi Muslimah. Kalau sudah begini, apakah BPIP bisa disebut atau mengklaim diri Pancasilais?
Ketiga, melarang Paskibraka berjilbab juga merupakan pelanggaran HAM, di mana pilihan berjilbab atau menutup aurat merupakan hak setiap individu warga negara Indonesia; yang diatur syariat Islam dan tidak melanggar aturan apapun.
Langkah BPIP ini juga tidak sinkron dengan aturan yang mereka terbitkan sebelumnya. Dalam Peraturan BPIP RI Nomor 3 tahun 2022, Paskibraka berhijab masih diakomodir. Namun aturan itu diubah melalui Keputusan Kepala BPIP RI Nomor 35 tahun 2024.
MUI, NU, Muhammadiyah, Purna Paskibraka Indonesia (PPI), dan sejumlah ormas lainnya menyorot tajam kebijakan diskriminatif BPIP. Bahkan beberapa elemen lantang meminta lebih baik BPIP dibubarkan saja.
Pastinya, BPIP harus bertanggung jawab karena sudah keliru menafsirkan Pancasila dan konstitusi, tanpa menghargai prinsip Bhinneka Tunggal Ika. Langkah konkretnya: tak cukup permintaan maaf, aturan yang diskriminatif harus dicabut. BPIP juga harus dievaluasi secara total. (*)
*Wakil Ketua 3, Komite II DPD RI