DPD RI – Tanah Sumuri di Kabupaten Teluk Bintuni, Provinsi Papua Barat merupakan salah satu penghasil Sumber Daya Alam (SDM) melimpah seperti minyak dan gas bumi (Migas) serta kandungan alam lainnya.
Musyawarah Besar (Mubes) ke-I Suku Sumuri tahun 2022 bertema “Suku Sumuri dalam Transformasi Industri Berkelanjutan di Tanah Sumuri” mengusung visi “Mubes Suku Sumuri yang maju, mandiri berdaya saing, bermartabat dan sejahtera dalam tatanan masyarakat berasas budaya Sumuri dan Pancasila.
Sebagai pembicara dalam Mubes suku Sumuri, Dr. Filep Wamafma menyampaikan materi tentang tatanan adat istiadat dalam kebijakan otonomi khusus Papua. Sebagai seorang politisi sekaligus akademisi, Filep menekankan bahwa hak masyarakat adat setempat sudah seharusnya dipenuhi dan dilindungi sebagaimana amanah UU Otsus.
“Sumber daya alam (SDA) milik suku Sumuri jangan seperti putri dan gula yang direbut. Misalnya, SDA milik Sumuri dirampas tanpa memikirkan hak kesulungan masyarakat adat,” ujar Filep.
Terkait pembagian Dana Bagi Hasil (DBH) migas, Filep menerangkan bahwa masyarakat adat 7 suku di Teluk Bintuni adalah pihak yang memperoleh hak berdasarkan amanat undang-undang dan amanat Peraturan Pemerintah yakni sebesar 10 persen dari hasil migas.
Menurut Wakil Ketua I Komite I DPD RI ini, pemerintah daerah diharapkan dapat bergerak cepat melaksanakan pembagian DBH migas agar tidak terkesan reaktif hingga masyarakat yang bergerak menuntut haknya dipenuhi.
“Untuk Migas ini hanya berada di Provinsi Papua Barat dan ada di Kabupaten teluk Bintuni. Maka, pemerintah daerah dan pemerintah provinsi termasuk SKPD terkait sudah harus bergerak cepat,” tegasnya.
“Akhir-akhir ini kita melihat masyarakat 7 suku di Bintuni gencar menuntut haknya. Seharusnya dengan adanya dasar hukum UU Otsus dan peraturan pemerintah ini, rakyat tidak perlu menuntut haknya karena pemerintah telah berkewajiban untuk memenuhi hak-hak warga negara Indonesia atau hak-hak masyarakat adat 7 suku di Bintuni,” tandasnya.
Filep juga menjelaskan, DBH Migas 7 Suku Bintuni tersebut berbeda dengan hak ulayat masyarakat adat.
Menurutnya, peruntukan DBH Migas telah diatur dalam undang-undang sementara hak ulayat atau hak milik menjadi bagian dari kearifan lokal dan juga hukum adat yang harus dihargai dan dihormati oleh berbagai pihak termasuk pemerintah maupun investor. (*)