Senator RI Uraikan Dasar Hukum Pendidikan Gratis bagi Orang Asli Papua

DPD RI – Persoalan pendidikan di Papua merupakan persoalan serius karena menyangkut kualitas kehidupan masyarakat Papua. Sejumlah kebijakan pemerintah pun telah dicanangkan guna meningkatkan mutu pendidikan di Papua, diantaranya melalui kebijakan Otonomi Khusus (Otsus) bagi Provinsi Papua dan Papua Barat.

Senator Papua Barat Dr. Filep Wamafma, SH., M.Hum menilai pendidikan bagi masyarakat Papua terutama orang asli Papua (OAP) sudah seharusnya diberikan tanpa dipungut biaya alias gratis. Hal ini mengingat, permasalahan pendidikan di Papua merupakan roh dari keberadaan Otonomi Khusus (Otsus).

Filep menyampaikan baik UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua maupun UU Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan UU Otsus menegaskan bahwa pendidikan merupakan tujuan diadakannya kebijakan Otsus tersebut.

“Hal ini berarti terdapat dasar hukum yang kuat untuk menempatkan pendidikan sebagai bagian utama dan urgen dari pembangunan manusia Papua. Terdapat beberapa dasar hukum yang kiranya dapat memberikan arah dan paradigma pikir bahwa sejatinya dengan dana Otsus yang sangat besar, pendidikan bagi OAP adalah gratis hukumnya!” ungkap Filep Wamafma, Jumat (8/7/2022).

Lebih lanjut, wakil Papua Barat di Senayan ini menjelaskan setidaknya terdapat 8 dasar hukum layanan pendidikan gratis bagi OAP baik di Papua maupun Papua Barat.

Pertama, UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsus bagi Provinsi Papua, berikut perubahannya yaitu UU Nomor 2 Tahun 2021. Menurut Filep, payung hukum di level UU ini tidak menyebutkan secara tersurat tentang pendidikan gratis melainkan menekankan adanya afirmasi bagi OAP.

UU Nomor 2 Tahun 2021 (UU Otsus Perubahan) menyebutkan bahwa pertimbangan lahirnya UU Otsus ialah dalam rangka melindungi dan menjunjung harkat martabat, memberi afirmasi, dan melindungi hak dasar Orang Asli Papua, baik dalam bidang ekonomi, politik, maupun sosial-budaya, perlu diberi kepastian hukum.

Filep menjelaskan, dalam rangka pelanksanaan afirmasi itu, maka disediakan dana yang sangat besar bagi pengembangan pendidikan di Papua. Besarnya dana itu termuat dalam pasal-pasal berikut.

(1), Pasal 34 ayat (3) huruf c angka (2) UU Nomor 21 Tahun 2001 (UU Otsus lama) menyebutkan bahwa penerimaan khusus dalam rangka pelaksanaan Otonomi Khusus yang besarnya setara dengan 2% dari plafon Dana Alokasi Umum Nasional (DAU), terutama ditujukan untuk pembiayaan pendidikan dan kesehatan.

(2), Pasal 34 ayat (3) huruf e angka (2) huruf a UU Nomor 2 Tahun 2021 (UU Otsus Perubahan) menyebutkan bahwa penerimaan yang telah ditentukan penggunaannya dengan berbasis kinerja pelaksanaan sebesar 1,25% dari plafon Dana Alokasi Umum (DAU) nasional ditujukan untuk paling sedikit 30% untuk belanja pendidikan.

(3), Pasal 36 UU Otsus Perubahan yang menegaskan bahwa penerimaan terkait dana perimbangan dari bagi hasil Sumber Daya Alam (SDA) minyak bumi dan gas alam (sebesar 70%) (disebut dengan Dana Bagi Hasil/DBH) dialokasikan sebesar 35% untuk belanja pendidikan.  

Selanjutnya, Filep menyebutkan dasar hukum Kedua adalah PP Nomor 106 Tahun 2021 tentang Kewenangan dan Kelembagaan Pelaksanaan Kebijakan Otonomi Khusus Provinsi Papua.

Menurutnya, Setelah payung hukum di level UU, PP Nomor 106 ini merupakan kunci bagi penyelenggaraan pendidikan gratis di Papua. PP ini secara tersurat menggarisbawahi pendidikan gratis di Papua.

Dalam Pasal 4 ayat (3) PP Nomor 106 Tahun 2021 disebutkan bahwa dalam rangka pelaksanaan Otonomi Khusus, Pemerintah Daerah Provinsi Papua dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota diberi Kewenangan Khusus dalam bidang pendidikan dan kebudayaan.

“Dalam kaitan dengan hal tersebut, prinsip umum kebijakan (in casu bidang pendidikan), berkaitan erat dengan pengelolaan dana Otsus yang dialokasikan untuk pendidikan. Turunan dari pasal tersebut kemudian dimuat dalam bagian Lampiran sebagai bagian tak terpisahkan dari PP ini,” jelasnya.

“Dalam bagian Lampiran dari PP ini, tepatnya di angka 1 huruf d, menegaskan secara definitif kewenangan Pemerintah Provinsi Papua dalam hal manajemen pendidikan, yaitu menyediakan pembiayaan pendidikan yang diprioritaskan untuk menjamin setiap OAP agar memperoleh pendidikan mulai PAUD sampai pendidikan tinggi, tanpa dipungut biaya alias gratis,” tegas senator Papua Barat ini.

 

 

Adapun dasar hukum Ketiga yaitu PP Nomor 107 Tahun 2021 tentang Penerimaan, Pengelolaan, Pengawasan, dan Rencana Induk Percepatan Pembangunan dalam Rangka Pelaksanaan Otonomi Khusus Provinsi Papua.

Menurutnya, Pasal 3 PP Nomor 107 Tahun 2021 ayat (1) dan ayat (2) menegaskan bahwa penerimaan dalam rangka Otsus, dikelola secara efektif, efisien, transparan, taat pada peraturan perundang-undangan, KEBERPIHAKAN BAGI OAP; dan pemerataan pelayanan dan peningkatan kualitas pendidikan DENGAN MEMPRIORITASKAN OAP.

“Dalam Penjelasan Pasal 3 ayat (1) PP tersebut dikatakan bahwa penerimaan dalam rangka Otsus tersebut harus memberikan manfaat langsung bagi masyarakat TERUTAMA OAP,” ujarnya.

Selanjutnya, ia menuturkan bahwa dalam Pasal 12 disebutkan secara tegas (1) Pemerintah Daerah Provinsi Papua dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dalam penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan kewenangannya mengalokasikan anggaran pendidikan sampai dengan jenjang pendidikan tinggi; (2) pendanaan penyelenggaraan pendidikan yang menjadi kewenangan Pemerintah Daerah Provinsi Papua dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota paling sedikit didanai melalui Dana Otsus dan Tambahan DBH Migas Otsus.

“Sebagai afirmasinya, Pasal 13 menggarisbawahi bahwa (1) setiap penduduk Provinsi Papua berhak memperoleh pendidikan yang bermutu sampai dengan tingkat sekolah menengah dengan beban masyarakat serendah-rendahnya; (2) beban masyarakat serendah-rendahnya ditetapkan oleh Kepala Daerah dengan memperhatikan pendapatan per kapita setiap Kabupaten/Kota dan kemampuan orang tua/wali peserta didik.

Kemudian Keempat yakni Inpres Nomor 5 Tahun 2007 tentang Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. Filep menjelaskan, Bagian Kedua dari instruksi ini menekankan pendekatan kebijakan baru bagi Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat (the new deal policy for Papua), dengan salah satu prioritasnya ialah perlakuan khusus (affirmative action) bagi pengembangan kualitas sumberdaya manusia putra-putri asli Papua.

“Dalam instruksi ini juga, Presiden memerintahkan Menteri Pendidikan Nasional untuk memberikan kesempatan yang lebih luas kepada putra-putri asli Papua untuk menempuh pendidikan di perguruan tinggi terbaik di luar Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat, dan mengupayakan dukungan beasiswa,” terang Filep.

Dasar hukum pendidikan gratis bagi OAP Kelima adalah Perpres Nomor 65 Tahun 2011 tentang Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. Filep menguraikan, dalam Pasal 6 ayat (1) huruf d dan huruf g disebutkan bahwa kebijakan pembangunan sosial ekonomi meliputi program pelayanan pendidikan, dengan memprioritaskan pada peningkatan pelayanan pendidikan dasar terutama untuk memastikan kegiatan belajar mengajar dapat berjalan di seluruh kampung dengan fasilitas dan jumlah guru yang memadai, serta menyiapkan pendidikan kejuruan, dan program perlakuan khusus bagi pengembangan kualitas sumber daya manusia putra-putri asli Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat.

“Dalam Lampiran I dan II Perpres sebagai bagian tidak terpisahkan dari Perpres ini disebutkan bahwa Program Peningkatan Pelayanan Pendidikan mencakup pelayanan pendidikan gratis sampai SMU menjangkau seluruh distrik dan kampung di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat,” ungkapnya.

Tak hanya itu, dalam Lampiran disebutkan juga tentang Program Perlakuan Khusus Putra-putri Asli Papua (Affirmative Actions) yang meliputi:

a.      Pemberian kuota kepada siswa berprestasi untuk menempuh pendidikan tinggi terbaik di luar Papua-Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat.
b.      Pemberian kuota untuk menjadi anggota TNI/Polri bagi Putra/i asli Papua-Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat.
c.      Pemberian kuota untuk masuk sekolah Akademi Militer dan Akademi Kepolisian bagi Putra/i asli Papua-Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat.
d.      Pendirian sekolah kebidanan/keperawatan-Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat.
e.      Pendirian sekolah kepamongprajaan (STPDN di Kota Sorong)-Provinsi Papua Barat.
f.       Pendirian sekolah pendidikan keguruan-Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat.

Selanjutnya, Keenam yakni Inpres Nomor 9 Tahun 2017 tentang Percepatan Pembangunan Kesejahteraan di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. Menurutnya, dalam Instruksi kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Presiden memerintahkan agar mempercepat peningkatan akses dan kualitas pelayanan pendidikan melalui pemberian kesempatan yang lebih luas untuk menempuh jenjang pendidikan menengah dan tinggi bagi putra-putri Orang Asli Papua.

Kemudian Ketujuh adalah Inpres Nomor 9 Tahun 2020 tentang Percepatan Pembangunan Kesejahteraan di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat yakni menginstruksikan kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan agar bersama-sama dengan pemerintah daerah memberi kesempatan yang lebih luas untuk menempuh Afirmasi Pendidikan Menengah dan Tinggi bagi SDM Unggul Papua.

Dasar hukum Kedelapan yaitu Peraturan Daerah Provinsi Papua Nomor 5 Tahun 2006 tentang Pembangunan Pendidikan di Provinsi Papua. Menurut Filep, Perda ini berlaku untuk Provinsi Papua. Pasal 3 ayat (1) menyebutkan bahwa pendidikan di Provinsi Papua diselenggarakan dengan memberikan prioritas kepada orang asli Papua, secara khusus peserta didik di daerah-daerah yang terisolasi, terpencil dan terabaikan. Pada ayat (2)   disebutkan bahwa pendidikan di Provinsi Papua diselenggarakan dengan beban masyarakat serendah-rendahnya, dengan memperhatikan kemampuan orang tua. 
 
“Selanjutnya dalam Pasal 5 ditegaskan bahwa Pemerintah Daerah bertanggungjawab untuk menyediakan dana bagi penyelenggaraan pendidikan di setiap jalur, jenis dan jenjang pendidikan, yang dibebankan dalam anggaran Pemerintah Daerah setiap tahun. Dalam Pasal 7 ayat (2) juga disebutkan bahwa setiap orang asli Papua, baik laki-laki maupun perempuan berhak memperoleh prioritas pelayanan pendidikan,” terang Filep.

Ia menambahkan, khusus untuk pendidikan tinggi, Pasal 51 menegaskan bahwa penyelenggaraan pendidikan tinggi negeri dan swasta yang berkedudukan di Provinsi Papua memperoleh pembiayaan dari Pemerintah Daerah  secara proposional; dan pembiayaan ini termasuk sebagian biaya langsung kepada orang asli Papua yang menjadi peserta didik di pendidikan tinggi.

Dengan sejumlah dasar hukum tersebut, Filep menekankan bahwa pendidikan gratis bagi masyarakat OAP wajib dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Dengan pendidikan yang baik dan berkualitas, ia berharap Papua dan Papua Barat akan terus melahirkan generasi-generasi yang mampu diandalkan di masa depan.(*)