Senator RI Desak Peninjauan Kembali MoU Pulau Pasir dengan Australia

DPD RI – Anggota DPD RI dari Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) Abraham Liyanto meminta pemerintah meninjau kembali perjanjian atau nota kesepahaman (Memorandum of Understanding/MoU) antara Indonesia dengan Australia tahun 1974 tentang Pulau Pasir. Alasannya, MoU itu lebih merugikan negara Indonesia.
 
“Perlu diskusi lagi dengan pemerintah Australia. MoU yang ada lebih merugikan Indonesia,” kata Abraham di Jakarta, Senin, 7 November 2022.
Ia menyebut dengan MoU yang ada, nelayan Indonesia hanya diizinkan untuk singgah, mengambil air bersih, dan mengunjungi makam leluhurnya di wilayah Pulau Pasir. Padahal Pulau Pasir itu sebagai aktivitas para nelayan dari NTT, hingga ada makam leluhur di sana.
 
“Mungkin perlu menjadi milik bersama antara Indonesia dan Australia. Misalnya pulau tersebut dibagi dua,” saran senator yang sudah tiga periode ini.
 
Dia menilai Indonesia harus berhak memiliki Pulau Pasir. Selain sudah ada aktivitas orang Indonesia di sana, jarak Pulau Pasir dari lepas pantai barat laut Australia sekitar 320 kilometer (km). Sementara jarak dari sebelah selatan Pulau Rote hanya 170 km. Itu artinya pulau tersebut lebih dekat ke Indonesia.
 
Kemudian sejak awal abad ke-18, Pulau Pasir telah menjadi tujuan para nelayan NTT. Mereka datang mengumpulkan burung, kerang, telur burung, penyu, teripang, dan telur penyu untuk dikonsumsi. Atas berbagai aktivitas tersebut, di Pulau Pasir terdapat kuburan para leluhur orang-orang Rote.
 
Fakta lainnya adalah sebelum diklaim menjadi milik Australia, para nelayan Indonesia yang ingin ke Pulau Pasir wajib kantongi izin dari pemerintah Kabupaten Kupang. Masyarakat NTT berlayar mencari ikan dan teripang ke pulau tersebut.
 
“Itu fakta-fakta yang telah ada. Maka perlu diskusi lagi dengan pemerintah Australia,” tegas mantan Ketua Kadin Provinsi NTT ini.
 
 
 
 
Menurut pemilik Universitas Citra Bangsa Kupang ini, pemerintah Hindia Belanda yang menjajah bangsa Indonesia selama 350 tahun mungkin memang tidak sampai ke Pulau Pasir tersebut. Bisa jadi karena terlalu jauh atau merasa sudah cukup sampai di Rote atau Kupang saja. Hal itu mungkin membuat pemerintah kolonial Belanda tidak mengklaim Pulau Pasir sebagai wilayahnya.
 
Namun fakta bahwa ada nelayan dari Rote beraktivitas di Pulau Pasir menunjukkan bahwa pulau tersebut juga milik Indonesia. Di sisi lain, di pulau tersebut tidak ada aktivitas masyarakat Australia, sekalipun telah diklaim menjadi miliknya.
 
“Supaya tidak menjadi perdebatan berkepanjangan, perlu duduk bersama lagi,” tutur anggota Komite I ini.
 
Dia juga meminta pemerintah menertibkan berbagai berita bohong atau hoax terkait status pulau tersebut. Dia melihat ada kelompok dalam negeri maupun luar negeri yang memanfaatkan kasus tersebut untuk mengganggu keamanan pelaksanaan G20 yang dilaksanakan di Bali pada November ini.
 
“Isu Pulau Pasir sudah dimanfaatkan oleh lawan politik pemerintahan Jokowi dalam negeri. Kemudian ada provokasi dari luar negeri juga. Sehingga banyak sekali berita hoax yang hadir. Pemerintah harus tertibkan supaya tidak kemana-mana isunya,” tutup Abraham. (*)