Perlindungan Pekerja Migran Indonesia; Antara Harapan dan Kenyataan

DPD RI – Meski Menteri Ketenagakerjaan telah mengeluarkan Peraturan Menteri Nomor 260/2015 tentang Penghentian dan Pelarangan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia pada Pengguna Perseorangan, khususnya sektor pembantu rumah tangga di seluruh negara Timur Tengah, masih terdapat banyak Pekerja Migran Indonesia yang mengadukan nasibnya melalui jalur ilegal.

Permasalahan ini mengemuka dalam Kunjungan Kerja Wakil Ketua DPD RI dan rombongan yang dipimpin oleh Dr. H. Mahyudin, S.T., M.M. pada tanggal 26 s.d. 30 November 2019.

“Permasalahan Pekerja Migran Indonesia Ilegal memang ada dari mulai hulu hingga hilir, dan pada ujungnya nasib Pekerja Migran Indonesia yang mengkhawatirkan”, ujar Mahyudin, Rabu 27 November 2019.

Kunjungan Kerja yang berlangsung di Konsulat Jenderal Republik Indonesia di Dubai dan Kedutaan Besar Republik Indonesia di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab dalam rangka Pengawasan atas Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia, diikuti oleh 8 Anggota DPD RI, H. Dedi Iskandar Batubara, Dr. Badikenita Br Sitepu, SE., M.Si. Dr. Muhammad J Wartabone, SH., MH., Hasan Basri, H. Iskandar Muda Baharudin Lopa, Hj. Yustina Ismiati, SH., MH. H. Ahmad Kanedi, SH., MH., dan Dr. Abdul Rahman Thaha, Konsul Jenderal Republik Indonesia di Dubai, Ridwan Hasan dan Pekerja Migran Indonesia di Dubai.

 

 

Mahyudin melihat kompleksitas permasalahan Pekerja Migran Indonesia ilegal, mulai dari pemalsuan dokumen perjalanan, rendahnya keterampilan pekerja, kurangnya informasi tentang sponsor atau agen yang mengirim pekerja migran Indonesia, regulasi yang belum memihak sepenuhnya kepada pekerja migran Indonesia.

Oleh karena itu Kunjungan Kerja hari ini bertujuan untuk memperoleh berbagai informasi terkini dalam memetakan permasalahan pekerja migran Indonesia, khususnya pekerja migran Indonesia, guna menjadi bahan dalam perumusan pertimbangan dan keputusan DPD RI dalam melaksanakan fungsi pengawasan dan penyempurnaan legislasi, khususnya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia.

Soal pekerja migran Indonesia ilegal yang saat ini menghuni shelter, menurut Konsul Jenderal Republik Indonesia, karena selama ini Dubai menjadi hub yang menghubungkan dengan beberapa kota di Uni Emirat Arab dan beberapa negara lainnya seperti di Eropa, Afrika, Amerika dan Asia lainnya.

Selama ini pekerja  migran Indonesia ilegal menggunakan visa turis untuk melakukan perjalanan ke Dubai dan saat tiba di Dubai, mereka dijemput oleh sponsor atau agen untuk disalurkan ke kota atau negara yang dituju tanpa ada kepastian atau kejelasan dimana mereka akan ditempatkan.

Pada akhirnya banyak pekerja migran Indonesia ilegal yang terlantar di Dubai dan ditampung di shelter KJRI Dubai. Saat ini terdapat 100 orang yang menghuni shelter untuk menunggu pemulangan mereka ke tanah air.

Selain itu terdapat kurang lebih 20 orang pekerja migran Indonesia ilegal yang masuk ke shelter setiap bulannya dengan berbagai permasalahan.

KJRI Dubai ibarat melakukan tugas “cuci piring” atas permasalahan pekerja migran Indonesia ilegal tersebut.

Secara khusus, KJRI Dubai mengharapkan adanya regulasi untuk melindungi pekerja migran Indonesia untuk memperoleh jaminan kelamatan, pendidikan keterampilan, khususnya sejak dari Indonesia.

Selama ini 80% pekerja migran Indonesia di Uni Emirat Arab bekerja di sektor informal sebagai pembantu rumah tangga.

Sementara itu, Pekerja Migran Indonesia yang menghuni shelter menyampaikan bahwa  perjalanan mereka menuju ke Dubai atau negara lain diatur oleh sponsor atau agen, tanpa mereka mengetahui akan ditempatkan dimana atau dengan siapa mereka akan bekerja.

Mereka hanya dijanjikan akan bekerja dengan gaji yang tinggi. “Saya hanya dijanjikan kerja dengan majikan yang baik dan digaji tinggi, tapi saat saya kerja, saya sering dipukul dan dianiaya, gaji yang dijanjikan hanya diberikan 2 bulan pertama, selanjutnya gaji kami tidak dibayar,” kata Imas, pekerja migran Indonesia dari Garut, Jawa Barat.

Wakil Ketua DPD RI, Mahyudin secara khusus menyoroti Peraturan Menteri Nomor 260/2015 tentang Penghentian dan Pelarangan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia pada Pengguna Perseorangan atau moratorium ke  khususnya sektor pembantu rumah tangga di seluruh negara Timur Tengah.

Karena sejak moratorium, masih banyak pekerja migran Indonesia ilegal yang bekerja di Timur Tengah,

“Moratorium perlu ditinjau ulang, karena dimanfaatkan oleh sponsor atau agen yang tidak bertanggungjawab, pekerja migran Indonesia ilegal, sebagian besar bekerja sebagai pekerja rumah tangga, sangat rentan dan lemah kepada pihak ketiga sehingga tidak ada lagi perlindungan,” kata Mahyudin.

Sebenarnya potensi pekerja migran Indonesia sungguh luar biasa.

“Pekerja migran Indonesia yang bekerja secara legal bekerja dengan penuh kepastian. Mereka bekerja sebagai pekerja di bidang pertambangan, hospitality, olah raga maupun sebagai imam masjid,” kata Ridwan Hasan, Konsul Jenderal Republik Indonesia di Dubai.

Peluang pekerja migran Indonesia sangat besar mengingat Dubai sebagai pusat perekonomian dunia yang membutuhkan banyak pekerja profesional.

Rombongan mengamati bahwa perlu adanya rapat kerja dengan Menteri Ketenagakerjaan untuk mengambil langkah-langkah strategis untuk menyelesaikan permasalahan pekerja imigran Indonesia khususnya penanganan pekerja imigran Indonesia ilegal.

Padahal sesuai amanat pasal 31 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia, penempatan pekerja migran Indonesia hanya dapat dilakukan ke negara tujuan penempatan yang telah memiliki peraturan perundangan yang melindungi tenaga kerja asing, perjanjian bilateral, dan jaminan sosial. (*)