Pansus DPD RI tentang PCR Laporkan Hasil Kerja Dalam Sidang Paripurna

DPD RI – Panitia Khusus DPD RI tentang Polymerase Chain Reaction (Pansus PCR) telah menuntaskan amanat kelembagaan dengan masa kerja enam bulan sejak ditetapkan melalui Sidang Paripurna DPD RI tanggal 3 Januari 2022 yang lalu.

Jumat, 8 Juli 2022 Fahira Idris selaku Ketua Pansus PCR DPD RI menyampaikan hasil laporan pelaksanaan tugas Pansus PCR pada Sidang Paripurna DPD RI.  

Salah satu rekomendasi hasil kinerja Pansus PCR adalah berkenaan biaya tes PCR harus ditanggung pemerintah. Hal ini dilandasi urgensi PCR bagi pemetaan penanganan pandemi Covid-19.

Ikhtiar pembentukan Pansus PCR DPD RI, pada dasarnya berangkat dari semangat untuk menyuarakan aspirasi masyarakat dan daerah di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dimana publik ingin mendapatkan jawaban yang jelas dan transparan terkait kebijakan pemerintah terhadap kebijakan PCR, yang digunakan sebagai media untuk mendeteksi keberadaan material genetik dari sel Covid-19.

Namun, dalam pelaksanaan kebijakan PCR ini, dinilai oleh publik terindikasi adanya konflik kepentingan, tidak transparan dan akuntabel. Semua kejadian yang dialami dan dilihat oleh masyarakat ini menghasilkan pergeseran paradigma. Tes PCR yang awalnya dianggap sebagai public health: metode untuk melacak dan memastikan pasien suspect Covid-19, menjadi public good. 

Apabila pergeseran paradigma yang berkembang di tengah masyarakat ini dibiarkan, dan tidak disuarakan secara institusional dan konstitusional, dikhawatirkan tingkat kepercayaan masyarakat atau public trust akan turun.

Baik kepada DPD RI sebagai perwakilan masyarakat di parlemen. Ataupun kepada pemerintah sebagai pihak yang menetapkan segala hal terkait kebijakan PCR.   

Inilah yang kemudian di antisipasi DPD RI melalui pembentukan Pansus PCR. Pansus ini bertujuan untuk menggali informasi dan mengungkap fakta, untuk menghasilkan keputusan politik yang diharapkan dapat mengembalikan tes PCR pada fungsi dan tujuannya semula. Yaitu instrumen untuk memutus mata rantai penyebaran Covid-19

Selain itu, Pansus PCR DPD RI dipicu oleh maraknya di publik soal konflik kepentingan dalam bisnis PCR. Sebagaimana diketahui, pemerintah merupakan perumus kebijakan, sudah sepatutnya terhindar dari konflik kepentingan. Namun di sisi lain, terdapat perusahaan bisnis PCR yang sahamnya dimiliki pejabat publik. Hal ini yang mendorong DPD RI sebagai representasi masyarakat dan daerah untuk mendalami kasus PCR. 

Pansus PCR DPD RI ditetapkan melalui Surat Keputusan DPD RI Nomor 32/DPD RI/I/2021-2022, beranggotakan 11 (sebelas) Anggota DPD RI yang berasal dari lintas alat kelengkapan yang susunannya Hj. Fahira Idris, S.E., M.H (Ketua), Dra. Hj. Elviana, M.Si (Wakil Ketua I), Hasan Basri, S.E., M.H  (Wakil Ketua II), Angelius Wake Kako, S.Pd., M.Si (Wakil Ketua III), Amaliah, S.Kg., M.B.A (Anggota), Arniza  Nilawati, S.E., M.M. (Anggota), Hj. Riri Damayanti John Latief, S. Psi. (Anggota), Drs. Ahmad Bastian, SY (Anggota), Habib Ali Alwi (Anggota), Anak Agung Gde Agung, S.H. (Anggota) dan Dr. Maya Rumantir, M.A.,Ph.D. (Anggota).

 

 

Menyangkut konflik kepentingan bisnis PCR, Pansus PCR merekomendasikan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) harus melakukan pemeriksaan kinerja dan keuangan terkait dugaan konflik kepentingan bisnis dari pejabat publik yang menangani PCR.

Ini penting untuk merawat kepercayaan publik (public trust) masyarakat pada pemerintah dalam penanganan pandemi Covid-19. Selain itu, direkomendasikan pula oleh Pansus PCR, pemerintah harus menerbitkan regulasi penggunaan tes PCR yang konsisten dan tidak diskriminatif untuk semua moda transportasi.

Pansus PCR memandang, pembenahan tata kelola menyangkut PCR perlu segera dilakukan optimal. Mengingat pandemi Covid-19 menunjukan eskalasi peningkatan kembali. Sehingga pemerintah harus mengantisipasi sedini mungkin. DPD berkomitmen akan mengawal kebijakan PCR dapat selaras dengan ketentuan yang berlaku serta berkontribusi dalam upaya mengatasi pandemi Covid-19.(*)