DPD RI – Rombongan anggota Komite III DPD RI yang dipimpin langsung oleh H. Muslim M Yatim, Lc., MM., Wakil Ketua Komite III DPD RI melakukan kunjungan kerja (kunker) ke Provinsi Sumatera Utara, Senin (27/05/24). Kunker dilaksanakan dalam rangka Uji Sahih untuk mendapatkan masukan dari masyarakat terhadap materi RUU Inisiatif tentang Perubahan UU Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan.
Bersamanya, hadir pula senator lain yakni Dedi Iskandar Batubara (Sumut), Fahdil Rahmi (Aceh), Ria Saptarika (Kepri), Arniza Nilawati (Sumsel), Zainal Arifin (Kaltim), Muhammad J Wartabone (Sulteng), Djafar Alkatiri (Sulut), Oni Suwarman (Jabar), Matheus Stefi Pasimanjeku (Malut), Asyera Respati A. Wundalero (NTT) dan Dewa Putu Ardika (Sultra).
Muhammad Armand Effendy Pohan sebagai Staf Ahli Gubernur Sumut, Bidang Hukum, Politik dan Pemerintahan yang menerima rombongan Komite III DPD RI menyampaikan ucapan selamat datang kepada para senator Komite III DPD RI.
“Mungkin karena Sumatera Utara, yang mempunyai Danau Toba, yang ditetapkan sebagai Destinasi Super Prioritas, maka Medan dipilih sebagai lokasi Uji Sahih. Kami siap menggali materi RUU Kepariwisataan yang diinisiasi oleh DPD RI, untuk memperkaya substansi. Tentunya kita semua berharap RUU Kepariwisataan ini dapat berdampak positif bagi masyarakat sekitar destinasi, pelaku usaha dan stakeholder pariwisata lainnya,” imbuh Armand Effendy.
Muslim Yatim, dalam sambutannya sekaligus membuka kegiatan Uji Sahih menyampaikan bahwa walaupun sudah dilakukan berbagai perbaikan, didapati beberapa permasalahan terkait penyelenggaraan kepariwisataan di Indonesia, sebagaimana kajian Bappenas permasalahan tersebut.
Pertama, penurunan kualitas lingkungan; Kedua, kualitas tata kelola destinasi yang rendah; Ketiga, pelayanan pariwisata kurang prima; Keempat, kapasitas sumber daya manusia pariwisata yang masih rendah; Kelima, keterbatasan aksesibilitas udara, darat, dan laut; Keenam, kekurangan investasi sektor pariwisata; dan Ketujuh, minimnya kesiapsiagaan terhadap bencana.
“Persoalan-persoalan tersebut, diharapkan akan mampu di jawab dalam RUU Kepariwisataan yang disusun DPD RI”, tegas senator Sumbar itu.
Salah satu tim ahli RUU Kepariwisataan, Dr. Fitri Ahlan Syarif, SH., MH dalam paparannya menguraikan bahwa berdasarkan aspirasi yang diterima oleh DPD RI,secara garis besar setidaknya ada 4 tantangan kepariwisataan di Indonesia, yakni keterbatasan penyediaan infrastruktur pariwisata dan teknologi informasi, pemberdayaan masyarakat lokal serta peningkatan standardisasi dan kompetensi, konsep pariwisata berkelanjutan, dan pola hubungan kewenangan antara tingkatan pemerintahan.
Oleh karena itu secara teknis beberapa isu substansi baru yang menjadi materi dalam RUU ini antara lain (1) penyelenggaraan pariwisata berkelanjutan, (2) pola hubungan kewenangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam pengelolaan pariwisata, (3) sistem informasi terpadu, (4) aksesibilitas pariwisata dan ramah disabilitas, (5) pemberdayaan masyarakat, serta (6) standardisasi dan sertifikasi kompetensi.
“Ada dilema di Pemprov Sumut untuk mengembangkan pariwisata. Bagaimana tidak, meskipun selalu didengungkan bahwa pariwisata merupakan sektor unggulan dan menambah devisa negara, namun faktanya pariwisata masuk ke dalam urusan pemerintahan pilihan bukan wajib, berbeda dengan bidang kebudayaan yang merupakan urusan wajib.”
“Jadi meskipun, ada edaran dari Kemendgri kepada Pemda bahwa APDN untuk pariwisata minimal 3% sebagaimana arahan Menparekraf, namun ketika kami mau memasukan jumlah itu ke dalam APBD, harus menghadapi DPRD yang tentu mempertegas bahwa pariwisata hanya urusan pilihan. Persoalan lainnya adalah perihal ekonomi kreatif dalam RUU ini yang belum tersentuh. Padahal kepariwisataan bersingungan erat dengan ekonomi kreatif.,” ujar Zumri Sulthony selaku Kepala Dinas Kebudayaan, Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Pemprov Sumut.
Zumri juga mengkritisi perihal pembagian kewenangan Badan Pengelola Otorita Danau Toba (BPODT) yang berdiri sendiri lepas dari Pemrpov Sumut. Menurut Zumri, meski BPODT ditetapkan sebagai pengelola Danau Toba, seharusnya ada porsi bagi keterlibatan Pemprov Sumut dalam pengelolaan destinasi tersebut, mengingat lokasi destinasi itu ada di wilayah kewenangan pemerintah provinsi Sumut.
Yuzrien Muhammad Nazief (Akademisi USU) menyebutkan bahwa DPR RI juga sedang menyusun RUU Kepariwisataan. Berbeda dengan versi RUU Kepariwisataan yang sedang disusun DPD RI yang merupakan RUU Perubahan UU Kepariwisataan, sedangkan RUU versi DPR adalah UU baru, yang mencabut UU Kepariwisataan.
Yuzrien juga menyoroti perihal kerumitan menyusun RUU Kepariwisataan baik dalam bentuk RUU Perubahan maupun RUU Baru (pencabutan) mengingat adanya Pasal 97A UU 12/2011 jo UU 13/2022, sehingga adanya usulan model 2 perubahan itu.
“Sebagai akademisi pariwisata, kami sangat mengapresiasi materi RUU Kepariwsataan. Materi RUU ini peka dan tanggap terhadap paradigm baru dan shifting pariwisata ke arah new normal pasca pandemic covid 19. Shifting periwisata ini menjadi keharusan mengingat preferensi wisatawan yang berubah pasca covid 19 (humanistic tourism), perubahan dari mass tourism ke quality tourism, penggunaan platform digital yang semakin cepat dan era disrupsi teknologi digital dari revolusi industri 4.0 menjadi 5.0,” papar narasumber lainnya Rahmat Darmawan (Poltek Pariwisata Medan).
Dewi Juita Purba (PHRI Sumut), mendukung percepatan proses penyusunan RUU Kepariwisatan. Namun demikian sebagai pelaku usaha Dewi merasa bahwa selama ini semua materi RUU Kepariwisataan lebih menekankan kepada kewajiban pada pelaku usaha dan pemberian sanksi bagi pelanggarannya.
“Kami mau ada keadilan bagi kami. Berikan juga sanksi kepada Pemerintah yang tidak melaksanakan pula kewenangannya, salah satunya terkait pembentukan Badan Promosi Pariwisata Daerah (BPPD),“ tegas Dewi.
Persoalan lain yang juga disoroti oleh Dewi yang mewakili PHRI adalah terkait teknis implementasi pariwisata berkelanjutan yang menurutnya tidak seindah yang dibayangkan. Jangan sampai impelementasi pariwisata keberlanjutan justru memberatkan pelaku usaha karena mejadi cost yang harus ditanggung pelaku usaha.
Terkait sertifikasi harus dibedakan antara sertifikasi usaha dan sertifikasi profesi. Sertifikasi profesi diserahkan kepada Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) sedangkan sertifikasi usaha menjadi kewenangan Komite Akreditasi Nasional (KAN).
Menutup kegiatan Uji Sahih, mewakili Pemprov Sumut, Armand Effendy berharap RUU Kepariwisataan bisa menjawab keresahan pemerintah daerah terkait kewenangan dalam bidang pariwisata, agar mampu memberikan dan fasilitasi secara maksimal sesuai harapan para pelaku kepentingan kepariwisataan terkait dukungan sertifikasi dan kompetensi SDM, promosi, dan sebagainya. (*)