Kritik Ketua DPD RI: Kekuasaan Negara Berada di Tangan Ketum Parpol dan Presiden, Bukan Rakyat

SURABAYA – Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti menegaskan jika amandemen konstitusi empat tahap pada tahun 1999-2002 menggeser pemegang kedaulatan rakyat di Republik ini. Sebelum dilakukan amandemen, kedaulatan rakyat berada di tangan rakyat melalui wakil mereka yang representatif di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai Lembaga Tertinggi Negara.
 
“Setelah diamandemen, kekuasaan menjalankan negara hanya ada di tangan ketua partai dan Presiden terpilih. Sehingga, jika Presiden terpilih membangun koalisi dengan ketua-ketua partai, maka ke manapun negara ini akan dibawa, terserah mereka. Rakyat sama sekali tidak memiliki ruang kedaulatan,” papar LaNyalla saat mengisi Kuliah Umum Wawasan Kebangsaan dengan tema: Mengembalikan Kedaulatan dan Mewujudkan Kesejahteraan Indonesia Universitas PGRI Adi Buana Surabaya, Rabu (10/5/2023).
 
Senator asal Jawa Timur itu menegaskan inilah sistem bernegara hasil dari era Reformasi. Kedaulatan negara faktanya ada di tangan ketua umum partai politik dan Presiden terpilih, bukan di tangan rakyat sebagai pemilik negara ini.
 
Sehingga yang terjadi, oligarki politik dan oligarki ekonomi semakin membesar dan menguasai negara. Hal itu imbas dari hubungan timbal balik antara oligarki politik dan oligarki ekonomi akibat biaya politik yang mahal di dalam pemilihan presiden secara langsung. Begitu pula dengan pemilihan gubernur, bupati dan wali kota secara langsung.
 
Tokoh asal Bugis yang besar di Surabaya itu menilai hal inilah yang perlu dibenahi. Itu sebabnya ia terus berkeliling Indonesia membangun kesadaran bersama, bahwa bangsa ini telah jauh meninggalkan cita-cita sebagaimana telah dirumuskan para pendiri bangsa.
 
Sebab, kata LaNyalla, Demokrasi Pancasila dan sistem Ekonomi Pancasila yang merupakan representasi dari UUD 1945 naskah asli, yang digali dari nilai-nilai luhur bangsa ini telah diganti dengan sistem demokrasi liberal Barat dan ekonomi yang berdasarkan mazhab kapitalistik. Akibatnya, bangsa ini kehilangan identitas.
 
 
 
 
“Para pendiri bangsa kita telah merumuskan suatu sistem demokrasi yang memberi ruang rakyat sebagai pemilik kedaulatan untuk duduk di Lembaga Tertinggi Negara, yaitu di dalam MPR RI,” tutur LaNyalla.
 
Rakyat mendapat ruang yang luas melalui Utusan Golongan dan Utusan Daerah di MPR RI. Lembaga ini merupakan struktur tertinggi di dalam negara. Bahkan, presiden tunduk di bawahnya, karena presiden sebagai kepala pemerintahan hanya melaksanakan Haluan Negara yang mereka putuskan bersama secara musyawarah mufakat.
 
Dijelaskan LaNyalla, konsep bernegara yang sangat baik tersebut sayangnya belum berjalan sempurna di era Orde Lama dan Orde Baru. Celakanya, konsep itu sekarang kita hapus total, pada saat amandemen Undang-Undang Dasar 1945 di tahun 1999 hingga 2002 silam.
 
“Oleh karenanya, saya mengajak kepada seluruh elemen bangsa untuk membangun konsensus nasional kembali kepada UUD 1945 naskah asli, untuk kita perbaiki dengan teknik addendum,” ajak LaNyalla.
 
Nantinya, DPR tak hanya dari unsur partai politik saja, namun juga diisi oleh unsur perseorangan, selain tetap ada unsur Utusan Golongan dan Utusan Daerah.
 
“Inilah yang saat ini sedang saya perjuangkan. Sistem asli yang dirumuskan oleh para pendiri bangsa ini yang sesuai dengan DNA bangsa kita. Saya mengajak kepada segenap Civitas Akademika Universitas PGRI Adi Buana Surabaya untuk ikut meresonansikan hal ini,” tutur LaNyalla.
 
Hadir pada kesempatan itu Drs Sutijono MM (Ketua PPLP PT PGRI Adi Buana Surabaya), Dr Suhartono M.Si
(Rektor Universitas PGRI Adi Buana surabaya), Dr Untung Lasiono (Wakil Rektor IV), Dr Aji Prasetyo MSA (Direktur LSP Universitas PGRI Adi Buana Surabaya) dan Para Dekan Universitas PGRI Adi Buana Surabaya serta ratusan mahasiswa.(*)