DPD RI – Komite IV DPD RI melakukan Rapat Kerja Gabungan Komite IV DPD RI bersama Tim Anggaran Komite I, II, dan III DPD RI dengan Menteri Keuangan, Bank Indonesia dan Kementerian PPN/Bappenas.
Rapat kerja membahas RUU APBN 2023 dan RUU Pertanggungjawaban APBN 2021. Rapat dipimpin oleh Ketua Komite IV DPD RI Elviana didampingi oleh Wakil Ketua Komite IV DPD RI Abdul Hakim dan Novita Annakota. Hadir juga Wakil Ketua DPD RI Sutan B Najamudin.
Dalam sambutannya, Elviana mengungkapkan terdapat beberapa fokus yang ingin digali dalam rapat kerja siang ini. Pertama RAPBN 2023 merupakan transisi dari defisit di atas 3 persen menuju defisit maksimal 3 persen. “Transisi ini mengharuskan pemerintah pusat untuk fokus pada balancing antara penerimaan dan belanja APBN di tengah ketidakpastian global” ungkap Elviana.
Kedua, Potensi stagflasi yang disebabkan oleh lonjakan inflasi global akibat supply disruption dan perlambatan perekonomian sebagai dampak tensi geopolitik. Pembayaran bunga utang pada RAPBN 2023 meningkat menjadi Rp441,4 triliun. Angka ini lebih tinggi dari APBN 2019 (LKPP) sebesar Rp275,5 triliun atau naik 60 persen dalam tiga tahun. Kemudian, dana bagi hasil pada RAPBN 2023 yang turun dibandingkan APBN 2022. Pada outlook APBN 2022 disebutkan dana bagi hasil sebesar Rp142,1 triliun, turun menjadi Rp136,3 triliun (RAPBN 2023).
“Dana Otsus pada RAPBN 2023 lebih rendah dibandingkan dengan APBN 2023. Penurunan dana otsus ini disebabkan turunnya dana otsus Provinsi Aceh dari Rp7,6 triliun (2022) menjadi Rp4 triliun. Penurunan dana otsus Provinsi Aceh dikhawatirkan akan mengganggu agenda pembangunan daerah di Provinsi Aceh, ” ungkap Elviana terkait Dana Otsus Papua.
Kemudian, terkait dengan UU tentang HKPD, Elviana mengungkapkan perlu adanya sosialisasi yang lebih masif kepada pemerintah daerah. “Terkait dengan implementasi UU HKPD, hasil kunjungan ke daerah dan aspirasi yang diterima oleh Komite IV DPD RI mengungkapkan bahwa daerah sangat membutuhkan sosialisasi UU HKPD dan pendampingan implementasi undang-undang baru tersebut. Hal ini penting mengingat kapasitas ASN di daerah tidak seragam,” papar Elviana.
Dalam paparannya, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkapkan bahwa pertanggungjawaban pelaksanaan APBN 2021 mendapatkan predikat WTP. “BPK memberikan opini “Wajar Tanpa Pengecualian (WTP)” atas LKPP Tahun 2021 yang keenam kalinya secara berturut-turut atau sejak LKPP Tahun 2016”, jelas Sri Mulyani.
Sri Mulyani menambahkan dengan opini WTP atas LKPP Tahun 2021 ini, diharapkan semakin memberikan keyakinan kepada seluruh masyarakat bahwa APBN telah dikelola secara prudent, efisien, transparan dan akuntabel.
Terkait dengan RAPBN 2023, Sri Mulyani mengungkapkan risiko ketidakpastian masih tinggi. “RAPBN 2023 masih menghadapi risiko ketidakpastian yang masih tinggi,” ungkap Sri Mulyani. Risiko tersebut antara lain pertama, scarring effect inflasi yang tinggi, berpotensi memicu stagflasi Perlambatan ekonomi global memengaruhi laju pertumbuhan ekonomi domestic, kedua perang di Ukraina menyebabkan gangguan sisi suplai (harga komoditas tinggi); dan ketiga pengetatan kebijakan moneter secara agresif (cost of fund tinggi, tekanan terhadap nilai tukar).
Destry Dayanti, Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia mengungkapkan kebijakan moneter saat ini fokus pada upaya menjaga stabilitas. “Kebijakan moneter saat ini fokus pada upaya menjaga stabilitas. Sementara 4 (empat) instrumen lainnya – makroprudensial, sistem pembayaran, pendalaman pasar keuangan, & ekonomi keuangan hijau & inklusif –untuk mendukung pemulihan ekonomi nasional, berkoordinasi erat dengan Pemerintah dan KSSK,” papar Destry.
Scenaider Clasein Hasudungan Siahaan, Deputi Pendanaan Pembangunan, Kementerian PPN/Bappenas dalam paparannya mengungkapkan arah Rencana Kerja Pemerintah 2023 terkait dengan penguatan Dana Alokasi Khusus 2023. “pada 2023, kami mendesain penguatan DAK. Desain ini mencakup pertama, mempertajam lokasi prioritas dan menu sehingga DAK lebih efektif, kedua mempertajam integrasi untuk isu spesifik dan ketiga memperkuat peran serta pemerintah daerah”, papar Scenaider.
Menanggapi mitra kerja Komite IV tersebut, Leonardy Harmainy Dt. Bandaro Basa Senator Provinsi Sumatera Barat memberikan tanggapan dan menyoroti mengenai inflasi 2022 dimana per Juli 2022 sudah melampaui target asumsi APBN 2022. “APBN berada dalam kondisi defisit sudah biasa. Saya ingin menyoroti soal tingkat inflasi tahun 2022 berjalan yang sudah melampaui target asumsi makro tahun 2022,” papar Leonardy. Senator Sumatera Barat ini mengharapkan dengan kontributor utama inflasi berasal dari bahan pangan, secara khusus cabe, Bank Indonesia dan pemerintah perlu meningkatkan koordinasi untuk menjaga harga agar tetap terjangkau oleh masyarakat
Sudirman Senator Aceh mempertanyakan peran APBN dalam mengurangi angka kemiskinan di Aceh.”Aceh mmerupakan provinsi termiskin di Pulau sumatera. Bagaimana APBN mampu menyelesaikan persoalan tersebut?”, ungkap Sudirman.
Dharmansyah dari Tim Anggaran Komite 1 DPD RI mendorong agar TPID (Tim Pengendali Inflasi Daerah) lebih efektif untuk mengendalikan inflasi daerah. Senator Bangka Belitung ini mengusulkan agar kinerja TPID harus dimonitor oleh Komite IV DPD RI. Selain itu terkait dengan UU HKPD, Senator Dharmansyan mengungkapkan daerah masih banyak yang kurang paham isinya. “Daerah masih banyak mempertanyakan UU HKPD,” ungkap Pak Dar, sapaan akrab Dharmansyah Husein.
Jimly Asshiddiqie Senator Provinsi DKI Jakarta mempertanyakan masalah quality of spending APBN. “Apakah kita punya data anggaran yang mencakup kebutuhan anggaran seluruh instansi nasional dan daerah serta sesuai dengan haluan normatif? Persoalan selama ini banyak membahas quality of spending, belum banyak membahas quality of planning”, tanya Jimmly
Eni Sumarni Senator Provinsi Jawa Barat dan Novita Annakota, Senator Maluku mengungkapkan permasalahan PEN “Dana PEN sangat meningkat namun belum bisa dirasakan oleh masyarakat kelas menengah-bawah” ungkap Eni. Sedangkan Novita, mempertanyakan kesiapan pemerintah di tahun 2023 ketika dana PEN tidak ada. “Bagaimana upaya pemulihan ekonomi nasional setelah tidak ada dana PEN?,” tanya Novita.
Abdul Hakim, Senator asal Lampung mengungkapkan beberapa poin yang menjadi konsennya. Pertama ikhtiar menjaga inflasi melalui penjagaan terhadap harga-harga komoditas. Kedua, penuntasan Satu Data Indonesia dan akselerasi revisi UU Statistik. Ketiga, sinergi dan kolaborasi antara K/L dengan Pemerintah daerah dan terakhir perbaikan tata kelola program strategis nasional. “Sinergi dan kolaborasi antara K/L dengan Pemerintah daerah sangat penting dalam rangka mengoptimalkan proses pembangunan nasional.
Elviana, Senator Provinsi Jambi mengungkapkan capaian inflasi sudah tidak sesuai dengan target inflasi karena tingginya harga pangan. Hal ini terkait juga dengan kinerja TPID (Tim Pemantau Inflasi Daerah). “Siapa yang mengevaluasi TPID?,” ungkap Elviana. Selain itu Elviana menyoroti NTP (Nilai Tukar Petani) yang masih berada rentang target pemerintah, namun Indeks yang dibayar petani sudah tinggi karena tingginya harga pupuk dan bibit. “Mohon ditinjau kebijakan pencabutan subsidi pupuk, khususnya untuk perkebunan rakyat,” jelas Elviana.
Hilda Manafe Senator Provinsi NTT mengusulkan pengelolaan dana desa ada SKB Menteri. “Dana Desa terkait dengan 3 K/L. Hal tersebut menyulitkan perangkat desa dalam implementasinya karena surat juknis muncul secara parsial. Kami mengusulkan agar hanya ada satu SKB,” usul Hilda.(*)