Komite II DPD RI Gali Masukan RUU Perikanan Bersama Pakar

DPD RI – Komite II DPD RI kembali melanjutkan penyusunan RUU Tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan. RUU ini dianggap penting dalam pengelolaan perikanan dan peningkatkan perekonomian nelayan kecil.
 
“Kegiatan RDPU ini merupakan salah satu tahapan dalam penyusunan RUU Perikanan yang bertujuan untuk mendapatkan masukan yang komprehensif baik dari sisi akademik maupun sisi implementasi di lapangan, guna memperkaya substansi RUU yang sedang disusun,” ucap Wakil Ketua Komite II DPD RI Abdullah Puteh saat membuka RDPU di Gedung DPD RI, Jakarta, Selasa (17/1).
 
Anggota DPD RI asal Provinsi Aceh ini menambahkan Komite II DPD RI telah mendata 12 isu pokok yang akan diatur di dalam revisi UU tentang Perikanan ini. Salah satu isu pokok itu yaitu wilayah pengelolaan perikanan, pengelolaan perikanan, serta usaha perikanan.
 
“Isu-isu pokok tersebut bisa saja bertambah berdasarkan hasil diskusi Komite II DPD RI dengan para pakar maupun praktisi di lapangan,” paparnya.
 
Anggota DPD RI asal Provinsi Riau Intsiawati Ayus mengatakan RUU ini jangan hanya melihat dari sudut pandang ekosistem laut saja. Namun perlu memperhatikan ekosistem perikanan di danau atau di sungai karena selama ini tidak terperhatikan.
 
“RUU jangan hanya mencakup ikan di laut saja, tapi juga memperhatikan ikan di danau dan pengelolaan atau pemberdayaannya seperti apa,” tukasnya.
 
Anggota DPD RI asal Provinsi Nusa Tenggara Barat Achmad Sukisman Azmy mengatakan bahwa sampai saat ini belum menemukan format yang pas dalam pengelolaan perikanan berbasis wilayah pengelolaan perikanan (WPP) atau kepulauan. Lantaran sampai saat ini pengelolaan berbasis kepulauan mengalami kebuntuan.
 
 
 
 
“Kita sampai saat ini tidak tahu mau pakai pengelolaan berbasis WPP atau kepulauan yang pas dengan Indonesia. Karena sampai detik ini berbasis kepulauan tidak jalan, maka kita perlu mencari format yang pas untuk RUU ini” lontar Sukisman.
 
Anggota DPD RI asal Provinsi Kalimantan Timur Aji Mirni Mawarni menjelaskan bahwa selama ini beberapa pengusaha besar pada sektor perikanan mengayomi para nelayan kecil. Bahkan, perusahaan besar telah membimbing para nelayan kecil dari nol hingga bisa mandiri.
 
“Permasalahannya para nelayan kecil setelah dibimbing dari nol, tapi tidak bisa mengatur harga yang telah diperoleh. Gambaran seperti perlu juga kita tuang dalam RUU ini,” imbuhnya.
 
Dosen di Departemen Perikanan Fakultas Pertanian UGM, Ignatius Hardaningsih, mengatakan bahwa di dalam pasal-pasal UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan hanya berkutik pada penangkapannya saja. Sementara untuk pelaku ditempatkan pada UU yang berbeda.
 
“Maka RUU ini perlu menekankan tentang kegiatan usaha perikanan bukan hanya sektor penangkapan saja. Supaya lebih tajam lagi RUU ini tapi bersifat universal,” ujarnya.
 
Perwakilan Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan, Abdul Halim, menilai pengelolaan perikanan berbasis WPP-NRI mesti diperkuat pengaturan kelembagaan di dalam perubahan kedua UU No. 31 Tahun 2004.
 
WPP-NRI akan menempatkan partisipasi aktif daerah sebagai input utama dalam pengambilan kebijakan dalam pengelolaan perikanan. “Tantangannya yaitu perlu peningkatan status hukum pengaturan kelembagaan dan ruang lingkup WPP,” ucapnya. (*)