Komite II DPD RI Gali Informasi Terkait RUU Penanggulangan Bencana

DPD RI – Komite II DPD RI menilai ada beberapa permasalahan terkait draft RUU tentang Penanggulangan Bencana. Secara umum, usulan perubahan dalam RUU tentang Penanggulangan Bencana telah menambahkan beberapa ketentuan yang menjadikan substansi.

“RUU tentang Penanggulangan Bencana menjadi lebih komprehensif jika dibandingkan dengan UU existing. Terlihat dari penambahan ketentuan dan penjelasan terkait bencana alam, bencana non-alam, dan bencana sosial serta pembagian peran pusat dan daerah yang menjadi lebih jelas dalam upaya menanggulangi jenis-jenis bencana,” ucap Wakil Ketua Komite II DPD RI Hasan Basri saat RDPU Pembahasan Substansi Materi RUU Tentang Penanggulangan Bencana, Jakarta, Senin (21/9/2020).

Menurutnya, penyusunan RUU ini tidak dapat berdiri sendiri, melainkan harus terintegrasi dengan UU lain seperti, UU Konstruksi. Hal ini mengingat pentingnya pemetaan daerah bencana dan rawan bencana yang tidak dapat dihuni atau ketentuan membangun bangunan di kawasan rawan bencana.

 

 

“RUU Penanggulangan Bencana perlu memuat ketentuan sanksi untuk pejabat yang mengeluarkan izin pembangunan di daerah rawan bencana jika terjadi kecerobohan yang menyebabkan bencana di masa mendatang,” kata senator asal Kalimantan Utara. 

Hasan Basri juga berharap RUU dapat mengatur alokasi anggaran penanggulangan bencana sebagai dana siap pakai pada tingkat pusat dan daerah dengan persentase minimal 2 persen dari APBN dan APBD. Namun, diperlukan penjelasan lebih lanjut terkait aturan persentase minimum tersebut. “Apakah persentase tersebut dinilai terlalu minim atau sudah cukup untuk diaplikasikan di seluruh daerah,” jelasnya. 

Wakil Ketua Komite II DPD RI menilai usulan Pasal 67 ayat 1 huruf b RUU tentang Penanggulangan Bencana menyebutkan alokasi anggaran penanggulangan bencana dapat berbentuk dana abadi. Namun, tidak ada penjelasan lebih lanjut terkait teknis pengelolaan dana abadi penanggulangan bencana tersebut. 

“Maka perlu dikaji apakah dana abadi penanggulangan bencana. Jika dibutuhkan, maka dana abadi tersebut akan dikelola oleh siapa atau lembaga apa, serta dana abadi akan bersumber dari mana,” tutur Hasan Basri.

Sementara itu, Koordinator Aliansi Masyarakat Sipil untuk Penguatan Undang-Undang Penanggulangan Bencana (AMPU-PB) Catur Sudiro menjelaskan penanggulangan bencana telah menjadi kesadaran masyarakat luas serta diakui keunggulannya pada tataran regional maupun global. Tetapi meletakkan sampah ditempatnya belum menjadi budaya masyarakat kita.

“Maka penanggulangan bencana belum menjadi gaya hidup masyarakat kita. Jadi masih banyak masyarakat yang buang sampah sembarang,” paparnya.

Catur juga mengatakan bahwa kesenjangan tanggap darurat belum cukup efektif dan kosisten. Lantaran, peran masyarakat dan ormas dalam penanggulangan bencana belum diatur secara eksplisit dalam RUU ini.

“Kami mau peran masyarakat dan ormas bisa lebih banyak dalam UU. Faktanya kedaulatan bencana menunjukan masyarakat sangat respon sebelum bantuan pemerintah datang,” terangnya. 

Di kesempatan yang sama, Anggota DPD RI Provinsi Nusa Tenggara Timur Angelius Wake Kako sependapat dengan paradigma bahwa UU ini perlu dipikir dan dicermati kembali. Sejauh ini UU ini hanya penanggulangan saja, sedangkan pasca penanggulangan belum dimasukkan.

“Indonesia memang daerah ring of fire tapi UU ini bicara soal penanggulangan, sehingga paradigmanya hanya penanggulangan saja tidak setelahnya,” ujarnya.

Anggota DPD RI Provinsi Kalimantan Barat Cristiandy Sanjaya menjelaskan bencana yang sering terjadi di Kalbar adalah kebakaran hutan, ada juga kebakaran di daerah permukiman, banjir, dan terjadi hampir setiap tahun.

Tetapi ketika terjadi kebakaran di permukiman masyarakat, Pemda tidak turun serta dalam pemadaman karena tupoksinya berbeda.

“Secara khusus di Kalbar seperti kebakaran di permungkiman bukan Pemda turun tangan tapi masyarakat. Pemda katanya tupoksinya berbeda, karena fokus terhadap kebakaran hutan. Justru masyarakat yang aktif. Pemda hanya memberikan bansos. Kedepan kami ingin ada aturan yang jelas,” kata Cristiandy.

Rapat Dengar Pendapat Umum hari ini dibagi menjadi dua sesi, pertama di pagi hari dan siangnya sesi kedua. Pada sesi kedua, Direktur Eksekutif Amcolabora Institute Nukila Evanty menjelaskan bahwa tantangan penanggulangan bencana yaitu kerja sama antara pemerintah pusat dan daerah tidak terkoordinasi secara baik.

Hal itu mengakibatkan keterkaitan kebijakan hulu-hilir dalam penataan ruang berbasis risiko bencana. “Untuk itu perlu juga keterkaitan dan daya dukung antara kota dan desa,” terangnya.

Selain itu, Perwakilan dari Platform Nasional Pengurangan Risiko Bencana (Planas PRB), Untung Tri Winarso menjelaskan beberapa kreteria koordinasi pemerintah pusat dan daerah. Tanggung jawab pemerintah daerah yaitu menyusun rencana-rencana pembangunan pemerintah pusat dan menyusun rencana manajemen penanggulangan bencana.

“Sementara itu tanggung jawab pemerintah pusat menyusun rencana pembangunan pemerintah daerah sesuai dengan identifikasi, penilaian, dan evaluasi,” ucapnya. 

Sementara itu, Anggota DPD RI Provinsi Jawa Tengah Denty Eka Widi Pratiwi mengatakan bencana biasanya terjadi di daerah maka perlu kesigapan dari pemerintah pusat maupun daerah, sehingga diperlukan anggaran khusus untuk penanggulangan bencana. Maka hal itu merupakan prioritas, karena jika tidak akan menganggu pembangunan di daerah.

“Jadi seharusnya kewenangan full daerah. Sementara pusat hanya koordinasi saja. Karena kita butuh kesigapan cepat, jadi Pemda yang bisa melakukan hal itu karena dekat dengan wilayah,” lontarnya. (*)