Komite II DPD RI Beberkan Permasalahan RUU Cipta Lapangan Kerja

DPD RI – Komite II DPD RI masih menemukan catatan permasalahan pada Rancangan Undang-undang (RUU) Tentang Cipta Lapangan Kerja (Ciptaker).

Berdasarkan sisi lingkup tugas Komite II DPD RI, ada beberapa permasalahan salah satunya yaitu hilangnya kewenangan pemerintah daerah dalam mengelola kekayaan daerah masing-masing.

Ketua Komite II DPD RI Yorrys Raweyai mengatakan bahwa penjelasan dalam draft RUU Cipta Lapangan Kerja mengembalikan kewenangan pengambilan keputusan atas pengelolaan kekayaan mulai dari perizinan hingga pembinaan pada tingkat Pemerintah Pusat.

Alhasil, pemerintah daerah tingkat provinsi dan kabupaten/kota tidak akan memiliki kewenangan untuk mengelola sumber daya ekonominya sendiri dan cenderung harus menunggu pendelegasian tugas dari Pemerintah. 

“Hal ini bertolak belakang dengan semangat pelaksanaan otonomi daerah,” ucap Yorrys didampingi Wakil Ketua Komite II DPD RI Abdullah Puteh, Wakil Ketua DPD RI Hasan Basri, dan Wakil Ketua Komite II DPD RI Bustami Zainudin saat RDPU melalui virtual meeting, Jakarta, Senin (27/4/2020).

 

 

Senator asal Papua itu menambahkan standar upah minimum pekerja menggunakan standar provinsi (UMP) menjadi catatan Komite II DPD RI.

Dalam aturan sebelumnya, pada PP Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan diatur bahwa standar yang digunakan menggunakan standar kabupaten/kota (UMK).

Upah minimum yang berpatokan pada UMP hanya akan menguntungkan kelompok pekerja di daerah tertentu saja, misalnya pekerja yang bekerja di DKI Jakarta.

“Di daerah lainnya, pekerja akan dirugikan karena UMP di berbagai daerah provinsi lebih rendah dibandingkan standar UMK,” tuturnya.

Yorrys juga menyoroti dihapusnya ketentuan upah minum sektoral kabupaten dan sektoral kabupaten (UMSK). Dihapusnya UMSK sangat merugikan pekerja, UMPK dibagi berdasarkan sektoral karena upah antar sektor berbeda sesuai dengan beban kerja yang bervariasi.

“Tentu saja, beban kerja sektor manufaktur berbeda dengan beban kerja sektor jasa,” terangnnya.

Aturan pembayaran upah berdasarkan jam kerja juga menjadi catatan Komite II DPD RI. Pengusaha dapat membayar pekerja berdasarkan jam kerja jika pekerja tersebut bekerja kurang dari 40 jam. Hal tersebut akan menjadi peluang bagi pengusaha untuk membayar pekerja lebih murah dari seharusnya. 

“Pengusaha dapat mencari celah untuk mengalihkan pembayaran bulanan menjadi pembayaran per jam, misalnya hanya memperkerjakan pekerja dalam empat hari saja. Sehingga, mekanisme pembayaran berdasarkan jam kerja cenderung akan dipilih oleh para pengusaha,” kata Yorrys.

Sementara itu, berdasarkan RDPU Komite II DPD RI dengan agenda membahas RUU tentang Cipta Lapangan Kerja(RUU Ciptaker) dengan narasumber Untung Riyadi, Arnold Sihite, dan Bibit Gunawan.

Sedangkan hal-hal yang menjadi masukan narasumber dalam RDPU sebagai berikut:

1. Konfederasi SPSI mengapresiasi undangan RDPU oleh DPD RI karena sampai dengan saat ini DPR RI dan pemerintah belum memperhatikan SPSI.

2. Konfederasi SPSI mempunyai dua pandangan dalam pembentukan RUU Ciptaker yaitu terhadap proses dan terhadap konten.

3. Pandangan terhadap proses.Proses dilakukannya rancangan draft RUU Ciptaker sangat tidak sempurna dari sisi Good Corporate Governance (GCG) dan menimbulkan banyak pro-kontra dalam masyarakat. Idealnya proses ketenagakerjaan seharusnya bermuara dari materi RUU ini dibahas secara tripartit.

4. Pandangan terhadap konten, dimana dibagi dalam limaklaster ketenagakerjaan dalam RUU Ciptaker, yaitu Hubungan Kerja dan Waktu Kerja, Pengupahan, PHK dan Penghargaan Lainnya, Jaminan Kehilangan Pekerjaan dan Tenaga Kerja Asing (TKA).

5. Isu krusial dalam pengaturan TKA ini dalam RUU Ciptakerterdapat point atau pasal yang dihapus terkait dengan jenis-jenis pekerjaan yang sebelumnya dilarang, sekarang menjadi tidak dilarang, ini yang dikhawatirkan pekerja/buruh bahwa TKA pada akhirnya akan masuk ke dalam ruang lingkup jenis-jenis pekerjaan yang low skill.

Ini perlu klarifikasi dan/atau penjelasan dari Pemerintah bahwa tujuan utama untuk menciptakan kemudahan investasi maupun dalam penciptaan lapangan kerja tidak terjawab dengan merevisi atau menghapus pasal-pasal terkait pengaturan TKA ini.

Menurut pekerja/buruh, ketentuan yang sudah ada tidak menjadi beban atau menjadi faktor penentu kurangnya minat untuk melakukan investasi.

6. Isu utama dalam pengaturan Hubungan Kerja ini adalah terbukanya peluang untuk melakukan PKWT dengan sistem kontrak tanpa batas sehingga dalam jangka panjang akan menghapus atau meniadakan pekerja/buruh dengan status PKWT.

Ini merupakan isu krusial yang sangat ditolak oleh pekerja/buruh karena tidak sesuai dengan jiwa atau nilai-nilai luhur bangsa Indonesia, akan menjadikan pekerja/buruh hanyalah merupakan obyek dari pembangunan.

Selain itu, isu outsourcing akan mengemuka seiring dengan kuatnya pengaturan PKWT dimasa mendatang. Dunia usaha akan lebih tertarik menggunakan outsourcing dan ini akan membuat rapuh sendi-sendi hubungan kerja terutama pekerja/buruh dalam posisi yang semakin lemah.

Kontrak akan menghapus sifat pekerja tetap sehingga kewajiban perusahaan membayar pesangon akan hilang.

7. Mengenai waktu kerja ini memang perlu pengaturan yang lebih fleksibel disesuaikan dengan perkembangan dunia usaha yang terus berubah seiring dengan impact dari revolusi industry 4.0. Namun,pekerja/buruh perlu mencermati dan membahas lebih clear jenis-jenis pekerjaan seperti apa yang dapat diterapkan dalam jam kerja yang fleksibel.

8. Tekait Sistem Pengupahan memang perlu ditinjau kembali, namun yang diusulkan dalam RUU Ciptaker terdapat banyak kontroversi sehingga menimbulkan penolakan yang cukup besar di kalangan pekerja/buruh.

Perlu dilibatkan seluruh stakeholders pengupahan untuk merumuskan konsep pengupahan yang ideal, terutama melibatkan Dewan Pengupahan Nasional RI. Isu sistem pengupahan ini dikhawatirkan dalam proses penetapan upahnya hanya berjalan sepihak oleh pemerintah.

9. Konfigurasi RUU Ciptaker masih membutuhkan penjelasan lebih dalam apakah ingin menciptakan lapangan kerja atau menarik investasi yang besar. Dalam perumusan RUU ini perlu juga melihat bonus demografi dimana membutuhkan banyak sekali lapangan pekerjaan.

10. Naskah akademik yang dibuat oleh SPSI sampai dengan saat ini belum dapat dipertanggungjawabkan karena hanya membahas secara makro.

Tanggapan Anggota Komite II:

1. Terlalu besar kewenangan daerah yang diambil dalam RUU Ciptaker dan kewenangan pemerintah akan sentralistik.

2. Permasalahan pengupahan perlu didorong sampai dengan ke level Pemerintah Kabupaten/Kota.

3. Pandemi Covid-19 turut berpotensi meningkatkan PHK di seluruh daerah. Pemerintah harus hadir guna mengantisipasi permasalahan krisis sosial.

4. Provinsi Kalimantan Timur di sektor kelistrikan pernah bekerja sama dengan Tiongkok. Tiongkok tidak hanya mendatangkan tenaga ahlinya bahkan sampai ke buruh-buruhnya. Hal ini tentunya mengurangi kesempatan kerja khususnya di daerah.

5. Sering terjadi kesenjangan sosial di daerah dimana perusahaan banyak yang mendatangkan tenaga kerja dari luar daerah sedangkan tenaga kerja lokal hanya ditempatkan sebagai pekerja low skill sedangkan tenaga ahlinya didatangkan dari luar daerah.

6. Perlu diperhatikan kembali tujuan perumusan RUU Ciptaker ini apakah untuk kepentingan pemerintah pusat, pemerintah daerah, buruh, atau pihak-pihak tertentu.

7. DPD RI perlu bersinergi dan mengadakan pertemuan dengan pemerintah daerah, DPRD, dan masyarakat dalam membahas RUU Ciptaker di level daerah.Deregulasi kewenangan daerah harus menjadi concern DPD RI dalam menjalankan tupoksi sebagai keterwakilan daerah sehingga dalam perumusan RUU Ciptaker ini peran serta DPD RI dapat terlibat. Akan tetapi, materi dalam RUU Ciptaker tidak sesuai dengan aspek legal drafting seperti aspek yuridis. DPD RI menyarankan, baik kepada Pemerintah dan DPR RI, agar menarik kembali RUU Ciptaker.(*)