Komite II DPD RI Bahas Persoalan Alih Fungsi Lahan Pertanian

DPD RI – Komite II DPD RI bahas persoalan alih fungsi lahan pertanian yang diduga sebagai ancaman terhadap pencapaian ketahanan dan kedaulatan pangan. Komite II menilai perlu dilakukan penyempurnaan terhadap UU Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLP2B) untuk kejelasan alih fungsi lahan pertanian.

“RDPU ini dilaksanakan untuk mendapatkan masukan yang komprehensif dan memperkaya substansi penyempurnaan UU No 41/2009 yang akan disusun,” jelas Aji Mirni Mawarni, Wakil Ketua Komite II, di Ruang Rapat Kutai, Komplek Parlemen, Senayan Jakarta, Selasa (14/11/2023).

Ia mengungkapkan banyaknya keluhan masyarakat terhadap pengalihan fungsi lahan pertanian yang kerap terjadi hingga mengakibatkan menurunnya tingkat kesejahteraan masyarakat terutama petani. Oleh sebab itu diperlukan dukungan dari Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah.

“Kita ingin memajukan pertanian, namun masih minim dukungan terhadap para petani, baik dari sisi pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, hal menjadi tanggungjawab penuh kita bersama,” jelasnya.

Anggota Komite II DPD RI Dapil Jawa Tengah, Denty Eka Widi Pratiwi juga mengungkapkan banyaknya persoalan yang berkembang di daerah. Petani mengeluhkan mahalnya harga pupuk hingga sulit untuk memenuhi kebutuhan primer mereka.

“DPD RI perlu menyuarakan revisi UU ini berdasarkan kondisi riil di masyarakat. Pemerintah perlu mengakomodir kebutuhan masyarakat di daerah. Agar lebih memprioritaskan untuk mempertahankan lahan pertanian. Saya khawatir adanya pergeseran pola fikir masyarakat dalam mempertahankan lahan pertanian mereka,” terang Denty.

Pada kesempatan itu, Guru Besar IPB Supiandi Sabiham mengungkapkan bahwa ia turut berkontribusi aktif dalam menyusun NA UU ini pada tahun 2006-2008. Menurutnya UU ini sudah cukup mengakomodir kebutuhan masyarakat, namun mengingat konversi lahan yang sangat masif, ia sependapat bahwa UU ini membutuhkan revisi untuk dilakukan penyempurnaan.

“Dampak sosial, ekonomi dan budaya perlu menjadi perhatian bersama terhadap implementasi UU ini, terutama bagi pemberdayaan petani. Faktor pendorong lain adanya ketersediaan pupuk subsidi yang masih sulit dijangkau oleh petani, sementara petani dituntut untuk meningkatkan produksi hasil pertanian, saya setuju agar dilakukan penyempurnaan UU ini” ungkap Supiandi.

 

 

Ia menilai kesulitan petani memperoleh modal usaha hingga mengakibatkan petani memilih untuk melakukan pinjam modal secara ilegal yang berdampak tidak sesuainya hasil produksi dengan biaya yang harus dikeluarkan perlu mendapat perhatian pemerintah.

“Perlu adanya peran pemerintah untuk menstabilkan harga gabah, karena petani mengeluarkan biaya yang cukup besar dalam proses produksi pangan yang mengakibatkan rendahnya produktifitas para petani,” jelasnya.

Ketua Bidang Advokasi dan Jaringan YLBHI, Zainal Arifin mengatakan perlunya regulasi yang berkaitan dengan PLP2B ini, ia menilai semangat yang ada dalam UU ini sudah cukup bagus. Alih fungsi lahan yang marak terjadi diduga disebabkan lemahnya implementasi kebijakan.

“Secara umum UU 41/2009 tentang perlindungan lahan pertanian berkelanjutan memiliki semangat perlindungan yang bagus dalam mempertahankan fungsi kawasan pertanian dan memberikan perlindungan terhadap maraknya alih fungsi lahan, jelas Zainal.

Lebih lanjut Zainal menjelaskan perlu adanya pengetatan terhadap alih fungsi guna perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan. Pengetatan bisa berupa valuasi lingkungan dan ekonomi tidak hanya di tataran teknis pertanahan oleh kementerian terkait.

“Alih fungsi lahan pertanian marak terjadi karena tingginya laju investasi, perlu ditinjau ulang proyek-proyek strategis nasional yang berpotensi terhadap alih fungsi lahan. LP2B harus diposisikan sederajat atau lebih tinggi dari proyek lainnya,” tandasnya.

Menutup Rapat tersebut Anggota DPD RI Dapil Kalimantan Tengah, Teras Narang meminta agar adanya One Map Policy (Kebijakan Satu Peta) agar dapat menggambarkan kawasan pertanian dan kawasan hutan dengan harapan adanya kebijakan satu pintu tersebut mampu memberikan perlindungan dan pengakuan bagi para petani. (*)