DPD RI – Komite I DPD RI menekankan sejumlah poin penting terkait RUU tentang pembentukan 3 Daerah Otonom Baru (DOB) di Papua dalam Raker Tingkat I bersama Komisi II DPR RI, Menteri Dalam Negeri, Menteri Keuangan, Menteri PPN/Kepala Bappenas dan Menteri Hukum dan HAM hari ini, Selasa (21/6/2022).
Komite I menyatakan mendukung kebijakan pemerintah sepanjang sesuai dengan aspirasi masyarakat Papua terutama dalam rangka menjamin perlindungan atas harkat dan martabat Orang Asli Papua (OAP).
“Berkenaan dengan rencana pemekaran provinsi tersebut, masih terdapat pertanyaan mendasar di luar dari apa yang diungkapkan peraturan perundang-undangan yaitu apa sebenarnya tujuan dari pemekaran di Tanah Papua? Apakah murni demi peningkatan kesejahteraan Orang Asli Papua, pengangkatan harkat martabat Orang Asli Papua, ataukah demi perluasan investasi, perluasan migrasi, perluasan kepentingan oligarki tertentu?” ungkap Wakil Ketua I Komite I DPD RI Dr. Filep Wamafma S.H., M.Hum., CLA.
“Diperlukan suatu penjelasan secara terbuka oleh Pemerintah dan DPR tentang tujuan dari pemekaran di tanah Papua. Pemetaan grand design-nya harus dipaparkan secara spesifik, yang bisa dipahami secara utuh oleh Orang Papua, bisa diterima dengan pikiran positif; karena bagaimanapun juga ada kekhawatiran dalam tatanan akar rumput, jangan sampai pemekaran hanya menjadi ajang perebutan kekuasan dan berbagai modalitas yang mengikutinya, dan justru menempatkan Orang Papua sebagai penonton asing di negerinya sendiri,” sambungnya.
Komite I memandang bahwa pemekaran wilayah atau pembentukan DOB di Papua tidak dapat dilakukan apabila pemerintah tidak memenuhi tiga poin penting yakni pertama pemerintah tidak dapat menjelaskan grand design percepatan pembangunan di Papua, terutama terkait keadilan bagi harkat dan martabat OAP.
Kedua, pemerintah tidak dapat menjelaskan ukuran kuantitatif dan kualitatif dari kriteria-kriteria yang ditegaskan dalam Pasal 76 UU Otsus berupa kestabilan politik, administratif, hukum, kesatuan sosial-budaya, kesiapan sumber daya manusia, infrastruktur dasar, kemampuan ekonomi, perkembangan pada masa yang akan datang, dan/atau aspirasi masyarakat Papua;
Ketiga, pemerintah tidak dapat menjelaskan dampak terburuk dari pemekaran di Papua, terutama bagi penegakan HAM, sebagai salah satu persoalan krusial di Tanah Papua.
Sejumlah poin di atas didasarkan pada hasil Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komite I DPD RI dengan Gubernur Papua, DPRP, MRP, dan Dewan Adat Papua, Analisis Dampak Dana Otonomi Khusus (DOK) terhadap Kesejahteraan OAP, Analisis Pendapatan Daerah di Era Otsus Papua, Analisis Belanja Daerah di Era Otsus Papua, Dampak DOK dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan Dampak DOK Terhadap Kemiskinan.
Dalam RDP Komite I DPD RI dengan Gubernur Papua, DPRP, MRP, dan Dewan Adat Papua pada 13 Juni 2022 lalu, terdapat 3 poin penting yang ditekankan, yakni Pertama, Komite I DPD RI dapat memahami usulan pemekaran di Provinsi Papua sepanjang sesuai dengan aspirasi masyarakat Papua dan selaras dengan semangat otonomi khusus Papua.
“Hal ini bermakna bahwa pemekaran bukanlah semata-mata persoalan percepatan, namun lebih dari itu ialah penguatan harkat dan martabat OAP. Inilah aspirasi OAP yang sesungguhnya. Tujuan percepatan itu merupakan tujuan sekunder, kuantitatif sifatnya; sementara tujuan penguatan merupakan tujuan primair, kualitatif sifatnya,” jelas Filep.
“Oleh sebab itu, sungguh gegabah-lah jika upaya pemekaran ini dilakukan seolah-olah “kejar tayang”. Jika benar-benar direncanakan, mengapa masih terdapat penolakan? Apakah posisi penolakan tersebut harus dikesampingkan? OAP bukanlah batu yang tinggal dikondisikan begitu saja,” tambahnya.
Kedua, Komite I DPD RI meminta Pemerintah dan DPR RI agar dalam hal pemekaran Papua hendaknya menghormati kewenangan Pemerintah Provinsi Papua, MRP, dan DPRP sesuai amanat UU Otsus Papua. Komite I menyampaikan kekuatan Otsus sebenarnya berada di level provinsi yakni oleh pemerintah provinsi yang ditegaskan secara implisit dalam Pasal 5 UU Otsus.
Dengan kata lain, Gubernur, MRP, dan DPRP merupakan simbol wajah Otsus. Kekuasaan politik Otsus secara eksistensial berada di tangan ketiga lembaga tersebut. Untuk itulah maka Pemerintah Pusat wajib dan patut menghargai kewenangan di ranah Provinsi tersebut. Oleh sebab itu, Komite I menyayangkan pembatasan kewenangan provinsi secara kasat mata di Pasal 76 ayat (2) dan ayat (3) UU Otsus.
“Di sini peran otoriter Pemerintah Pusat sangat tampak. Bagaimana mungkin pemekaran dilakukan tanpa memperhatikan usulan dan/atau pendapat dari Pemerintah Provinsi? Konsep top down ini sama saja dengan menegasikan peran dan kuasa politik dari Pemerintah Provinsi. Sekali lagi, politik Otsus itu ada di provinsi.
Kewenangan Provinsi harus dihargai dan diimplementasikan agar Otsus tidak kehilangan kekuatannya,” terang Filep.
Ketiga, Komite I DPD RI meminta Pemerintah dapat menjelaskan urgensi pembentukan Daerah Otonom Baru (DOB) di Tanah Papua dan melakukan kajian yang lebih komprehensif terhadap usulan pemekaran di Tanah Papua.
Oleh sebab itu, Komite I meminta pemerintah menjelaskan ukuran capaian kestabilan politik, administratif, hukum, kesatuan sosial-budaya, kesiapan sumber daya manusia, infrastruktur dasar, kemampuan ekonomi, perkembangan pada masa yang akan datang, dan/atau aspirasi masyarakat Papua, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 76 UU Otsus secara kuantitatif dan kualitatif.
Lebih lanjut, Komite I juga menguraikan analisis Dampak Dana Otonomi Khusus (DOK) terhadap Kesejahteraan bagi OAP. Penggunaan DOK tercatat mengalami peningkatan dengan rata-rata sebesar 13,79 persen per tahun. Hingga 2020, DOK untuk Papua dan Papua Barat sebesar Rp129,82 triliun.
Meningkatnya penerimaan DOK diharapkan dapat digunakan oleh daerah untuk mengoptimalkan pelayanan publik dan mendorong aktivitas ekonomi melalui optimalisasi potensi ekonomi, sehingga daerah dapat mandiri secara ekonomi dan finansial.
Selanjutnya, besarnya proporsi sumbangan PAD menunjukkan bahwa ketergantungan fiskal daerah di Papua relatif sangat tinggi terhadap transfer dana dari Pemerintah Pusat. tahun 2016 s.d 2020 rata-rata sumbangan PAD dari 29 kabupaten/kota dan 1 provinsi di Papua terhadap pendapatan daerah hanya sebesar 3,21%. rata-rata sumbangan PAD dari 13 kabupaten/kota dan Provinsi Papua Barat terhadap PD hanya sebesar 3,61%.
Selain itu, belanja daerah di era Otsus Papua masih didominasi oleh Belanja Langsung yang berkaitan dengan pelaksanaan program dan kegiatan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat di Papua.
Di Papua, rata-rata pendapatan daerah yang diperoleh melalui transfer DOK meningkat sebesar 5,18% per tahunnya, namun hanya dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusia (IPM) di Papua sebesar 1,08% per tahun.
Begitu pula dengan di Papua Barat yang meningkat sebesar 3,25%, ternyata hanya mampu memberikan kontribusi terhadap peningkatan IPM di Papua Barat sebesar 1,16% per tahun. Ini menunjukan bahwa, jika Pemerintah Pusat ingin untuk meningkatkan kualitas hidup sumber daya manusia di Papua, maka transfer DOK perlu ditingkatkan dan /atau ditambah nilainya.
Sementara itu, di Papua dan Papua Barat, meningkatnya pendapatan daerah yang diterima melalui DOK (Papua sebesar 5,18% per tahun dan Papua Barat sebesar 3,63% per tahunnya) hanya mampu menurunkan kemiskinan yang diukur melalui persentase penduduk miskin pada kedua wilayah masing-masing sebesar 1,56% per tahun dan 3,82% per tahun.
Ini menunjukan bahwa, jika Pemerintah Pusat ingin untuk meningkatkan kualitas hidup sumber daya manusia di Papua, maka transfer DOK perlu ditingkatkan dan/atau ditambah nilainya.
Akan tetapi, Komite I DPD RI memandang bahwa kewenangan Provinsi sejauh ini dilangkahi sedemikian rupa melalui penggunaan Pasal 76 ayat (2) sebagai dasar bagi pemekaran. Ini berarti, bahwa mekanisme pemekaran ialah top down dengan tanpa melibatkan aspirasi Pemerintah Provinsi.
“Persoalan pemekaran ini membawa implikasi pada kewenangan DPD yang dalam praktik ketatanegaraan memiliki peran sentral dalam hal pembahasan mengenai otonomi daerah. Di sini penguatan kewenangan DPD RI seharusnya dipertegas dan tidak seolah dilangkahi oleh Pemerintah.”
“Jika memang dimekarkan, seharusnya Pemerintah memperkuat wilayah kabupaten/kota sebagai titik pemekaran, mengingat transfer langsung pemerintah ke kabupaten/kota sangat besar nominalnya. Dibutuhkan analisis ilmiah mengenai konstruksi hukum, politik, dan pemetaan sosial yang komprehensif mengenai mengapa harus dilakukan pemekaran di wilayah provinsi,” tuturnya.(*)