DPD RI – Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, mengatakan jika negara dikelola dan dijalankan suka-suka oleh koalisi besar Eksekutif dan Legislatif. Hal itu dikatakan LaNyalla secara virtual dalam acara pendalaman tugas DPRD Jawa Timur, Selasa (7/6/2022).
“Sejak konstitusi diamandemen tahun 1999 hingga tahun 2002, negara ini seolah dijalankan suka-suka sesuai dengan keinginan Koalisi Besar yang ada di Legislatif dan Eksekutif,” tutur LaNyalla pada acara bertema ‘Pancasila, IKN dan Kedaulatan Bangsa’.
Dalam kegiatan yang dilaksanakan di Universitas Pembangunan Nasional Jakarta, LaNyalla juga melontarkan sejumlah pertanyaan fundamental, yaitu apakah Pancasila masih ada? Apakah nilai-nilainya masih membumi sebagai denyut nadi kehidupan bangsa dan negara? Apakah isi dan bunyi pasal-pasal di dalam Undang-Undang Dasar hasil Amandemen tahun 1999 hingga 2002 silam masih nyambung dengan teks lima sila dalam Pancasila dan dengan naskah pembukaan UUD?
Menurut Senator asal Jawa Timur itu, Pancasila memang masih ada. Hanya saja, Pancasila hadir hanya secara seremonial di upacara-upacara kenegaraan. Sementara secara nilai, demokrasi Pancasila dan sistem ekonomi Pancasila sudah hilang.
“Karena kita sebagai bangsa telah mengganti dengan sistem demokrasi liberal dan sistem ekonomi kapitalistik,” ujarnya.
Ia menambahkan, Amandemen Konstitusi tahun 1999 hingga tahun 2002 telah mengubah wajah dan arah perjalanan bangsa. Karena, semua diserahkan kepada penentu tunggal, yaitu partai politik.
“Tidak ada lagi ruang bagi unsur golongan-golongan dan utusan dari daerah-daerah dalam posisi equal dengan DPR RI. DPD RI sebagai wakil daerah juga tidak mendapat peran yang equal dengan DPR RI. Meskipun DPD RI dipilih melalui pemilu yang sama dengan partai politik,” katanya.
Celakanya, suara atau pendapat hanya dihitung sebagai angka melalui voting di parlemen. Akibatnya, partai politik kecil tidak akan pernah mampu menghadapi partai politik besar yang berkoalisi.
Begitu pula haluan ekonomi nasional yang telah bergeser dari ekonomi yang disusun atas asas kekeluargaan, dibiarkan tersusun dengan sendirinya melalui mekanisme pasar.
Sumber daya alam dan cabang-cabang produksi yang menyangkut hajat hidup orang banyak, perlahan tapi pasti diserahkan kepada mekanisme pasar. Dan impor menjadi jalan keluar termurah, dengan dalih efisiensi.
“Inilah produk undang-undang dari Konstitusi hasil Amandemen di era reformasi kemarin,” tutur LaNyalla.
Alumnus Universitas Brawijaya Malang itu menilai persoalan bangsa harus diselesaikan dari hulu bukan hanya di hilir. Sebab, katanya, muara dari kelemahan kita sebagai bangsa ada di sektor hulu.
Hal itu pula yang menyebabkan selama beberapa tahun belakangan ini terjadi kegaduhan nasional berupa pembelahan anak bangsa dan polarisasi antar-kelompok yang sangat tajam.
Terkait IKN, LaNyalla menyoroti Undang-Undang Ibukota Negara sebagai salah satu Undang-Undang yang dikebut prosesnya, selain Undang-Undang Omnibus Law.
Menurut LaNyalla, DPD RI melalui Ketua Komite I saat itu, terlibat dalam pembahasan di fase pertama. Dan DPD RI memberi delapan catatan kritis terhadap Rancangan Undang-Undang tersebut.
“Dalam beberapa kesempatan, saya juga menerima aspirasi dari beberapa kalangan, di antaranya para purnawirawan TNI dan akademisi, yang dengan tegas menolak pemindahan Ibukota Negara dari Jakarta ke Kalimantan Timur,” tutur dia.
Sebab, dalam kajian militer dan pertahanan keamanan, Kalimantan Timur adalah Mandala Perang.
“Dan wilayah Mandala Perang, dalam kajian militer dan hankam wajib dihindari sebagai Ibukota Negara, karena dalam doktrin militer dan hankam, semua negara tetangga berpotensi menjadi lawan perang,” ujar dia.
Oleh karenanya, LaNyalla mengajak semua pihak kembali kepada nilai-nilai Pancasila yang menjadi grondslag bangsa ini.
“Sehingga tersambung kembali dengan watak dasar bangsa ini. Sehingga wajib dan mutlak, kita sebagai bangsa, untuk melakukan kaji ulang atas Amandemen Konstitusi yang terjadi di tahun 1999 hingga 2002 silam,” saran LaNyalla.
Ia menegaskan, watak dasar bangsa dan negara ini sama sekali bukan bangsa dan negara yang sekuler, liberal dan kapitalistik. Watak dasar bangsa dan negara ini adalah bangsa dan negara yang berketuhanan, yang beradab, yang bersatu, yang mengutamakan musyawarah dan yang berkeadilan serta gotong royong.(*)