DPD RI – Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, meminta pemerintah menghindari penggusuran paksa lahan rakyat untuk pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara di Kecamatan Sepaku, Penajam Paser Utara (PPU), Kalimantan Timur.
LaNyalla mengingatkan pemerintah untuk menyelesaikan terlebih dahulu masalah yang sangat mendasar, yakni soal penguasaan lahan, sebelum melakukan pembangunan.
Sebab, Informasi yang terus berkembang, kepemilikan tanah di lokasi calon IKN Nusantara tersebut merupakan kepemilikan masyarakat lokal secara turun temurun. Sementara sebagian lainnya, milik para transmigran.
“Maka ini harus dipastikan selesai dengan baik. Saya mengingatkan tak boleh ada sama sekali penggusuran paksa lahan rakyat demi alasan pembangunan IKN Nusantara. Saya tak mau hal itu terjadi,” tegas LaNyalla di sela kunjungan kerja di Bengkulu, Selasa (15/3/2022).
Senator asal Jawa Timur itu meminta pemerintah menyelesaikan hal tersebut terlebih dahulu sebelum pembangunan dilakukan.
“Jangan menunggu hingga terjadi bentrokan antara rakyat sebagai pemilik lahan turunan dengan kepentingan elit dalam pengelolaan megaproyek IKN Nusantara,” kata LaNyalla mengingatkan.
Bagi LaNyalla persoalan ini fundamental. Pemerintah diharapkan lebih transparan dan serius agar tidak menuai konflik berkepanjangan.
LaNyalla juga menyoroti masalah reformasi agraria. Pasalnya bukan sedikit konflik yang terjadi tentang lahan yang sudah dikuasai rakyat secara turun-temurun, namun tidak dapat dibuktikan status kepemilikannya secara hukum.
“Akhirnya dirampas perusahaan yang kemudian sanggup mengurus izin konsesi atau bahkan sertifikat. Ini kan tidak adil. Akhirnya rakyat dipaksa pergi dari tanah yang sudah puluhan tahun dikuasainya,” sesal LaNyalla.
Jika sudah begitu, LaNyalla menilai masyarakat bukan cuma kehilangan tanah, tetapi juga kehilangan sumber kehidupan. “Saya ingatkan aparat untuk tidak melakukan intimidasi, penggusuran paksa bahkan tindakan represif,” tegas LaNyalla.
Di lokasi IKN, ada begitu banyak tumpang tindih klaim izin konsesi perusahaan, yang sebelum kedatangan megaproyek ibu kota baru pun sudah menimbulkan banyak konflik agraria.
Secara umum, di Kalimantan Timur, penguasaan lahan pun semakin timpang antara rakyat kecil yang umumnya bertani dengan lahan yang dikuasai perusahaan tambang hingga perkebunan.
Dari catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), dalam lima tahun terakhir muncul 50 konflik agraria dengan luas 64 ribu hektar di Kalimantan Timur.(*)