Kasus Roti Mengandung Pengawet Berbahaya, Komite III Tekankan Penguatan Peran BPOM Melalui RUU POM

DPD RI – Merespon viralnya kasus penggunaan bahan tambahan pangan (BTP) berupa natrium dehidroasetat pada produk roti yang beredar di pasaran, Komite III DPD RI berharap adanya penguatan tugas, fungsi dan kewenangan BPOM secara menyeluruh dalam pengawasan obat dan makanan.

“Bagaimanapun kita menyampaikan apresiasi kepada BPOM karena sebagaimana penjelasannya, untuk kasus ini BPOM telah mengambil sampel produk roti tersebut pada Juni silam. Ini artinya pengawasan post market telah dilakukan. Pun demikian BPOM telah melakukan inspeksi pada sarana produksi dan melakukan penghentian dan peredaran produk. Hanya saja kami melihat tetap ada kelemahan dari tugas, fungsi dan kewenanganan BPOM dalam pengawasan produk secara keseluruhan sehingga persoalan seperti ini masih kerap terjadi.” ungkap Hasan Basri, Ketua Komite III DPD RI dalam pernyataannya.

Hasan Basri lebih lanjut menambahkan bahwa terkait dengan sarana produksi misalnya. BPOM tidak memiliki kewenangan apapun terhadap sarana produksi, dalam hal ini mencabut izin sarana produksi. Tindakan menghentikan produksi dan menghentikan peredaran produk tentu berbeda dengan sarana produksi itu sendiri.

Perizinan terhadap sarana produksi menjadi kewenangan Kementerian Kesehatan. Dari aspek legislasi BPOM juga tidak memiliki kewenangan penuh dalam menyusun, menetapkan dan melaksanakan standar dan persyaratan pihak yang terlibat dalam kegiatan produksi, peredaran, dan penyaluran produk.

 

 

Hal ini tercermin bahwa saat ini penyusunan dan penetapan standar/pedoman Cara Pembuatan yang Baik, standar/pedoman Cara Distribusi yang Baik, dan standar/pedoman Cara Pengelolaan Produk yang Baik di Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang dilakukan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan merupakan pelimpahan kewenangan yang diberikan oleh Kementerian Kesehatan sebagaimana tertuang dalam beberapa Peraturan Menteri Kesehatan. Pelimpahan tersebut saat ini merupakan kewenangan dari Kementerian Kesehatan yang dapat ditinjau kembali.

Sedangkan dalam pemberian izin kegiatan produksi maupun kegiatan distribusi obat dan bahan obat, saat ini masih merupakan kewenangan Kementerian Kesehatan yang dilimpahkan kepada Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 93 tahun 2014 tentang Pelaksanaan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Bidang Kesehatan di Badan Koordinasi Penanaman Modal.

“Itu sebabnya, Komite III DPD RI mendukung upaya penguatan institusi BPOM dalam melaksanakan pengawasan Obat dan Makanan melalui pengundangan undang-undang yang khusus mengatur tentang BPOM,” tegas senator dari Kalimantan Utara itu.

Sampai saat ini, peraturan perundang-undangan yang ada belum mampu menjadi payung hukum yang kuat bagi pelaksanaan pengawasan obat, obat tradisional, kosmetik, suplemen kesehatan, dan makanan. Oleh karena itu, pengaturan khusus dan komprehensif (lex spesialis) tentang pengawasan obat dan makanan sangat diperlukan untuk memberikan perlindungan yang lebih baik terhadap kesehatan masyarakat dari risiko obat dan makanan yang tidak memenuhi persyaratan mutu dan keamanan. Sedangkan bagi pelaku usaha obat dan makanan, pengaturan khusus dan komprehensif tersebut sebagai upaya pencegahan dari memproduksi yang tidak sesuai dengan persyaratan mutu dan keamanan.

“Dan Alhamdulillah pada penutupan masa sidang ke V tahun 2024, Komite III DPD RI telah menuntaskan tugas konstitusionalnya dengan menyampaikan pandangan dan pendapat atas RUU tentang Pengawasan Obat dan Makanan yang saat ini sedang disusun oleh DPR RI, “ ujar Hasan Basri menutup rilisnya. (*)