Investasi Semakin Marak, Senator RI Ingatkan Jangan Ada Kriminalisasi

DPD RI – Lahirnya UU Cipta Kerja telah membuka peluang yang sangat besar pada ruang investasi. Laporan Bank Dunia menyebutkan bahwa dampak dari pemberlakuan UU Cipta tersebut mulai terasa pada kuartal II tahun 2022, dimana terjadi peningkatan jumlah Penanaman Modal Asing (PMA) di Indonesia. Hal ini diamini oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).
 
BKPM melaporkan realisasi investasi menembus angka Rp 307,8 trilliun pada kuartal III tahun 2022. Angka ini naik 42,1% dibanding periode yang sama pada tahun sebelumnya. Dari nilai realisasi investasi tersebut, diketahui sebesar 54,9 persen atau Rp168,9 triliun adalah PMA. Sementara itu, sekitar Rp138,9 triliun atau 45,1 persen merupakan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN).
 
Menanggapi terbukanya investasi ini, Senator Papua Barat Filep Wamafma, memberikan pandangannya. Menurutnya, investasi merupakan suatu keniscayaan di era keterbukaan dan globalisasi. Namun pertumbuhan investasi tidak boleh menegasikan kemanusiaan.
 
“Semua negara di dunia tentu saja membutuhkan investasi. Papua sebagai daerah Otsus, juga butuh investasi. Akan tetapi investasi tidak boleh dilepaskan dari nilai-nilai kemanusiaan. Sehingga kemanusiaan harus berada di atas semua kebijakan investasi. Terlebih, jangan sampai investasi merendahkan harkat dan martabat manusia, apalagi harkat dan martabat OAP yang selama ini tanahnya, hutannya, seolah-olah menjadi objek investasi,” ujar Filep, Selasa (17/1/2023).
 
“Kita tidak menolak investasi. Yang kita ingatkan adalah jangan sampai ada kriminalisasi atas nama investasi,” tegasnya.
 
Lebih lanjut, Wakil Ketua Komite I DPD RI ini lantas menyoroti persoalan-persoalan yang dialami masyarakat Papua lantaran masuknya investasi.
 
“Ada 2 hal yang mau saya tekankan di sini. Pertama, jangan sampai ada kriminalisasi terhadap pejabat daerah yang demi rakyatnya melarang adanya investasi. Pertimbangan dari kepala daerah merupakan hal yang mutlak bagi pengambilan keputusan investasi, bahkan untuk investasi Proyek Strategis Nasional (PSN),” ucapnya.
 
 
 
 
“Itu karena kepala daerah-lah yang bertanggungjawab secara hukum dan moral kepada rakyat yang dipimpinnya. Menurut saya, itu bukan pembangkangan, karena di alam demokrasi, yang dibutuhkan adalah dialektika logis mengapa investasi dilakukan di Papua atau Papua Barat”, kata penulis buku Pengaturan Kebijakan Investasi dalam Rangka Perlindungan Terhadap Hak-hak Masyarakat Adat di Provinsi Papua Barat ini.
 
Poin kedua, Filep menekankan perihal kriminalisasi terhadap masyarakat adat. Ia menuturkan, sepanjang tahun 2019, catatan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menyebutkan bahwa sebagian besar masyarakat adat mengalami kriminalisasi diantaranya berupa tuduhan sebagai pelaku pembakaran hutan.
 
“Ini kan menarik karena tuduhan tersebut secara langsung mau menghilangkan posisi masyarakat adat sebagai pemberi izin bagi dilakukannya investasi di wilayah adatnya. Belum lagi kalau kita bicara dalam konteks masyarakat adat di Papua. Persoalan ganti kerugian pun harus melewati perdebatan yang alot dan panjang dan membuat masyarakat adat seperti tidak berdaya di hadapan negara,” jelas Filep.
 
Berkaitan dengan hal ini, mantan Anggota Pansus Papua itu kemudian menggarisbawahi peran pemerintah dalam investasi. Menurutnya, pemerintah tidak boleh mengabaikan suara-suara kepala daerah yang berusaha melindungi rakyatnya dari investasi, terutama suara masyarakat adat yang menentang adanya investasi.
 
“Pemerintah sangat berkomitmen dalam Sustainable Development Goal’s atau tujuan pembangunan berkelanjutan. Tujuan ini semestinya menjadi pegangan bagi semua kemudahan yang diberikan bagi iklim investasi. Itu berarti suara-suara masyarakat adat, suara pemimpin daerah yang tidak sepakat dengan sikap otoriter investasi pemerintah, seharusnya diakomodir. Jangan semuanya dianggap seolah membangkang, atau jangan sampai dicari-cari masalah lain sehingga orang-orang ini mengalami kriminalisasi dalam hidup mereka”, tegas Filep.
 
“Menurut saya, kompleksitas kriminalisasi semacam itu disebabkan karena ada perbedaan perspektif terhadap nilai dan norma yang dipegang oleh kelompok-kelompok masyarakat adat dan kepala daerah tertentu, dengan nilai yang dipegang pemerintah. Perbedaan perspektif terhadap nilai dan norma ini mempengaruhi penilaian terhadap perbuatan masyarakat adat dan kepala daerah. Jadi, kita tentu tidak berharap, investasi itu dijadikan alasan untuk kriminalisasi, karena itu sama saja dengan meniadakan martabat manusia”, kata Filep mengakhiri wawancara. (*)