Gaji Guru di Fakfak Belum Dibayar, Senator RI Minta Stakeholder Merespons Secara Cepat

DPD RI – Surat Instruksi Persatuan Guru Republik Indonesia Kabupaten Fakfak, menghentikan proses belajar mengajar per tanggal 17 Januari 2023. Hal ini disebabkan oleh belum dibayarnya gaji bulan Januari 2023.
 
Persoalan ini pun mendapat respon tegas dari Senator Papua Barat Dr. Filep Wamafma. Filep menyoroti kinerja dinas terkait yang mengelola hal ini.
 
“Saya kaget dan heran, kenapa bisa ada kejadian gaji guru belum dibayar? Semua orang paham, bahwa adanya kebijakan Otsus itu bertujuan memberikan afirmasi terhadap dua hal mendasar yaitu pendidikan dan kesehatan. Seharusnya tidak boleh ada cerita gaji guru belum dibayar. Dimana koordinasi antara dinas terkait dan pemerintah daerah?” ungkap Filep dengan tegas.
 
Filep lantas mengingatkan sejumlah peraturan terkait persoalan tersebut. Ia menyebutkan bahwa Surat Dirjen Perimbangan Keuangan tentang Rincian TKD, daftar Rincian Alokasi Transfer ke Daerah Tahun Anggaran 2023, terdiri atas Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus Fisik, Dana Alokasi Khusus Nonfisik, Hibah ke Daerah, Dana Otonomi Khusus Provinsi Aceh, Dana Otonomi Khusus Provinsi-Provinsi di Papua, Dana Tambahan Infrastruktur Provinsi-Provinsi di Papua, Dana Keistimewaan D.I. Yogyakarta, Dana Desa, dan Insentif Fiskal.
 
“Khusus untuk Papua, di tahun 2023 ini Dana Otsus, Dana Tambahan Infrastruktur dalam rangka Otsus sebesar Rp17,24 triliun. Ini belum termasuk dana perimbangan yang terdiri dari dana bagi hasil (DBH), DAU, DAK dan dana tambahan dalam rangka Otsus. Dari semua dana itu, pendidikan dan kesehatan menjadi fokus terbesar. Jadi sangat mengherankan bila masih ada persoalan guru-guru belum dibayar gajinya,” kata Filep.
 
 
 
 
Senator Filep menuturkan bahwa persoalan pendidikan seperti ini hendaknya tidak merugikan para pelajar dan orang tua murid. Menurutnya, terhambatnya pendidikan bagi generasi merupakan suatu kerugian besar bagi masa depan Papua.
 
“Permasalahan seperti ini, jika dikaji lebih jauh, maka pasti merugikan siswa-siswi dan para orang tua, khususnya OAP. Mereka menyekolahkan anak-anaknya, dengan harapan supaya terpelajar dan bisa membangun Papua, namun kenyataannya permasalahan penggajian membuat proses pembelajaran menjadi terhambat,” ungkap Filep.
 
Terlebih, lanjut Anggota DPD RI ini, UU Otsus sudah menetapkan bahwa penerimaan yang telah ditentukan penggunaannya berbasis kinerja pelaksanaan sebesar 1,25% dari plafon DAU nasional ditujukan 30% untuk pendanaan pendidikan. Bahkan DBH Migas ditentukan dalam Pasal 36, bahwa 35% untuk belanja pendidikan.
 
“DBH Migas Kabupaten Fakfak di tahun 2022 sebesar Rp29,5M. Tinggal dihitung persentase untuk belanja pendidikan. Oleh sebab itu, saya pikir persoalannya terletak pada koordinasi antara pengambil kebijakan di bidang pendidikan di Fakfak. Generasi sekarang akan sangat kecewa jika persoalan mendasar ini tidak bisa diselesaikan secara efektif dan efisien,” kata Filep lagi.
 
Atas persoalan ini, Filep berharap agar Pemerintah Daerah setempat dan stakeholder terkait lainnya dapat memberikan respons cepat supaya tidak mengorbankan pendidikan anak-anak di Fakfak.
 
“Ada hak anak-anak untuk mendapatkan pendidikan. Itu bagian dari HAM, bukan sekedar HAM OAP, tapi HAM universal. Pemerintah berkewajiban untuk memenuhi hak atas pendidikan tersebut. Apalagi kalau kita bicara dalam rangka Otsus. Saya berharap agar Pemerintah Daerah bergerak taktis, efektif, untuk memberikan kepastian kepada para guru, termasuk memberikan keadilan bagi anak-anak yang hak pendidikannya dilanggar,” demikian saran Filep.
 
“Apalagi dalam PP Nomor 106 Tahun 2021, telah dilakukan pembagian kewenangan pendidikan antara provinsi dan kabupaten. Tentu diharapkan kabupaten dapat memaksimalkan Dana Otsus dan kewenangannya. Dan salah satu kewenangan kabupaten dalam PP tersebut adalah penjaminan kesejahteraan dan keamanan bagi pendidik. Kita jadi malu dengan kondisi seperti ini,” tegas Filep sekali lagi. (*)