DPD RI – Menindaklanjuti aspirasi dari masyarakat Bangka Belitung mengenai permasalahan di sektor pertambangan timah yang disampaikan saat kunjungan kerja Ketua DPD RI AA Lanyalla Mahmud Mattalitti beberapa waktu lalu, Komite II DPD RI memfasilitasi pertemuan stakeholders terkait untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Harapannya melalui pertemuan tersebut, iklim usaha dan investasi di Bangka Belitung dapat berjalan dengan baik dengan mengutamakan kesejahteraan masyarakat.
Menurut Ketua Komite II DPD RI Yorrys Raweyai, pertemuan tersebut bertujuan menciptakan iklim usaha yang dapat menyokong percepatan pembangunan di Bangka Belitung untuk mensejahterakan masyarakat.
Dirinya berharap agar pelaksanaan sektor usaha di Bangka Belitung dapat kondusif untuk pembangunan daerah.
“Masalah ini bukan barang baru. Kita harus menetapkan hukum dalam rangka membangun bangsa. Kita harus lihat komprehensif kepentingan bangsa ini, arah presiden mau kemana. Dimulai dengan menata hukum untuk membangun 100 tahun Indonesia merdeka,” pesan Yorrys dalam pertemuan di Ruang Rapat Pimpinan DPD RI (15/1/2020) yang juga dihadiri oleh Wakil Ketua Komite II DPD RI, Bustami Zainudin dan Abdul Puteh.
Pertemuan yang menghadirkan PT. Timah, Bareskrim Polri, PT. Aries Kencana Sejahtera (AKS), Assosiasi Penambang dan Pengolah Pasir Mineral Indonesia (Atomindo), dan perwakilan masyarakat ini dilatarbelakangi adanya aspirasi mengenai persoalan penataan dan zonasi serta persaingan yang kurang sehat dalam usaha pertambangan timah.
Beberapa pengusaha pertambangan, salah satunya Komisaris PT. AKS, Surya Wiranto, mengeluhkan atas banyaknya smelter memiliki Izin usaha Pertambangan (IUP) yang harus berhenti beroperasi, sementara beberapa penambangan ilegal masih banyak ditemui di beberapa tempat di Bangka Belitung.
“Kami dibatasi. Rencana Kerja Anggaran Biaya (RKAB) kita dicabut, padahal itu berlaku satu tahun. Kalau memang tidak bisa ekspor, tapi kami mengalami kriminalisasi, itu yang terjadi di lapangan. Banyak pertambangan ilegal yang masih beroperasi. Kalau dikerucutkan kita akan tahu muaranya kemana,” tukasnya.
Sementara itu, Direktur Utama PT. Timah, Mochtar Riza Pahlevi Tabrani, mengatakan bahwa perusahaannya dalam melakukan kegiatan penambangan, selalu menerapkan prinsip good mining services dan melakukan kegiatan ekspor timah tanpa menghalangi perusahaan pertambangan lainnya.
Lanjutnya, sebelum membuka tambang, perusahannya selalu melakukan sosialisasi kepada masyarakat terlebih dahulu.
“Tidak ada larangan ekspor, selama bisa menunjukkan RKAB dan neraca cadangan. Dan faktanya ada beberapa pihak yang melakukan ekspor. Kemarin sempat ada ramai-ramai, saya minta kita mundur dulu. Kami punya IUP yang sah, AMDAL yang sah, dan kadang ada penolakan. Sementara yang tidak punya, tidak ditolak,” katanya.
Terkait masalah pertambangan di Bangka Belitung, Wakil Direktur Tipidter Bareskrim Polri, Kombes Pol Agung Budiono, mengatakan dirinya turun langsung untuk melakukan observasi.
Menurutnya, beberapa usaha pertambangan timah di Bangka Belitung masih belum dilaksanakan dengan baik sesuai aturan. Dirinya mengaku kepolisian tidak terlibat dalam penutupan smelter di Bangka Belitung, karena hal tersebut di luar wewenangnya.
“Secara keseluruhan ada 34 smelter perusahaan, kami sudah melakukan pengecekan semua, termasuk PT. Timah, kami tidak ada terkecualinya. Ternyata hampir mayoritas pekerjaan-pekerjaan itu tidak dilakukan sesuai IUP masing-masing. Kami bingung soal adanya penutupan smelter, yang menutup siapa, dan yang ditutup siapa. Kami tidak ada istilah menutup, kami hanya melakukan upaya agar para pengusaha melakukan kegiatan usaha sesuai IUP masing-masing,” jelas Agung.
Berbeda, Kepala Desa Rebo, Fendi, mewakili masyarakat dan nelayan di desanya, menyatakan pertambangan yang dilakukan di wilayahnya dapat merusak lingkungan dan merugikan nelayan.
Dirinya berharap agar DPD RI dapat membantu mengatur dan menata wilayah pertambangan agar tidak merugikan masyarakat.
Sementara itu, Anggota DPD RI Provinsi Bangka Belitung yang hadir juga meminta agar segala permasalahan dapat diselesaikan dengan baik. Salah satunya mengenai maraknya pertambangan timah yang ilegal yang masih ada sampai saat ini.
Darmansyah Husein, Hudarni Rani, dan Alexander Fransiscus berpesan agar berbagai aktivitas pertambangan ilegal di Bangka Belitung dapat ditindak, karena dapat mengancam kerusakan lingkungan dan merugikan masyarakat.
Penambangan ilegal masih sering ditemui padahal dapat merugikan masyarakat.
“Banyak pertambangan timah ilegal yang dibiarkan. Ada yang bekerja mulai jam 5 sore, dan jam 5 subuh dia pulang, itu ilegal. Kalau bisa yang legal kita jaga dan yang ilegal jangan kita biarin, karena yang ilegal itu bisa bikin rusak berat,” ucap Hudarni.
Berbeda, Anggota DPD RI dari Provinsi Bangka Belitung lainnya, Zuhri M. Zyazali, meminta agar semua stakeholders yang hadir memiliki komitmen untuk membangun Bangka Belitung, salah satunya adalah dengan melaksanakan penambangan sesuai dengan aturan yang berlaku.
Dirinya juga berharap agar sektor-sektor lain di luar pertambangan turut diperhatikan. Salah satunya adalah sektor pariwisata, dimana Bangka Belitung mempunyai potensi besar dalam menarik wisatawan.
“Pendapat saya, mari kita duduk bersama untuk menyelesaikan ini. Ayo sama-sama kita kelola. Tidak ada gunanya saling menyalahkan. Potensi pariwisata juga dapat dioptimalkan untuk kepentingan bersama selain pertambangan,” pesan Zuhri.
Di akhir pertemuan, Yorrys Raweyai meminta agar semua pihak yang hadir dapat mengkaji dan menindaklanjuti setiap aspirasi yang disampaikan dalam pertemuan tersebut.
Komite II DPD RI akan terus mengawal perkembangan masalah pertambangan ini untuk mewujudkan percepatan pembangunan di Bangka Belitung.
“Aspirasi yang telah disampaikan dari semua pihak, kami telah merekam, dan kami harapkan dari setiap pihak supaya bisa merekam, dan apa langkah-langkah yang bisa digunakan untuk mengantisipasi masalah tersebut. Kita akan sampaikan kepada publik dan pemerintah dalam rangka melakukan pengawasan-pengawasan sesuai tupoksi dari DPD,” tutup Yorrys yang juga Anggota DPD RI dari Provinsi Papua ini. (*)