DPD RI – Di tahun politik ini, Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti menegaskan tidak punya agenda politik untuk memenangkan pasangan calon presiden satu pun.
Agenda besar dirinya adalah mengalahkan mazhab individualisme, pragmatisme dan materialisme yang telah menyusup ke dalam sistem bernegara di Indonesia, sejak Amandemen Konstitusi tahun 1999 hingga 2002.
“Saya tidak punya agenda politik untuk memenangkan pasangan calon presiden. Selain saya tidak mau, sebagai anggota DPD RI sudah jelas dalam Undang-undang, kami tidak boleh partisan,” kata LaNyalla dalam sambutan virtual pada Musyawarah Pimpinan Nasional 2023 Lingkar Dakwah Mahasiswa Indonesia (LIDMI) yang dilaksanakan di Makassar, Sabtu, (16/12/2023).
Lanjut dia, yang diperjuangkan saat ini adalah memenangkan mazhab bernegara yang sesuai dengan rumusan para pendiri bangsa, yaitu negara yang berfalsafah kepada azas Pancasila.
Karena, lanjut dia, Indonesia telah memiliki sistem tersendiri, yang paling sesuai dengan watak asli dan kemajemukan bangsa Indonesia. Tetapi sistem itu dibuang, hanya karena penyimpangan yang dilakukan Orde Baru.
“Padahal, seharusnya yang kita benahi adalah penyimpangan yang terjadi di era Orde Baru. Bukan mengganti sistem bernegara. Karena para pendiri bangsa kita telah melakukan uji tuntas atas semua sistem bernegara, baik ala barat maupun timur. Yang semuanya tidak cocok diterapkan di Indonesia, sebagai negara majemuk dan kepulauan ini,” paparnya.
Dijelaskan oleh Senator asal Jawa Timur itu, bangsa ini sebenarnya sudah punya sistem asli yaitu adanya MPR sebagai Lembaga Tertinggi Negara yang menampung semua elemen bangsa, yang menjadi penjelmaan rakyat sebagai pemilik dan pelaksana kedaulatan.
“Anggota MPR berasal dari anggota DPR yang dipilih secara langsung dan utusan-utusan lain, yaitu Utusan Golongan-Golongan dan Utusan Daerah yang harus diutus dari bawah,” tukas dia. Anggota DPR, anggota Utusan Golongan dan anggota Utusan Daerah itulah menjadi penjelmaan rakyat dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Rote. Mereka ini yang akan bermusyawarah di MPR RI, untuk merumuskan Haluan Negara, sebagai bentuk kehendak politik rakyat.
“Lalu mereka inilah yang memilih Presiden di MPR untuk menjalankan Haluan Negara tersebut. Sehingga Presiden adalah Mandataris dari Penjelmaan Rakyat tersebut. Artinya Presiden adalah petugas rakyat. Yang kemudian dievaluasi di akhir masa jabatannya,” kata pria asli Bugis yang besar di Jawa Timur itu.
Sistem itulah yang menurut LaNyalla harus disempurnakan dan perkuat. Sehingga tidak terjadi lagi penyimpangan seperti di era Orde Lama dan Orde Baru. Sehingga bangsa Indonesia kembali dengan jati dirinya.
“Pemilihan Presiden langsung hanya mengakibatkan polarisasi di masyarakat. Dan hal itu sangat tidak produktif, serta menurunkan kualitas kita sebagai bangsa yang beradab dan beretika,” katanya. Pemilihan Presiden secara langsung juga telah terbukti melahirkan politik kosmetik yang mahal dan merusak kohesi bangsa. Karena batu uji yang dijalankan dalam mencari pemimpin nasional adalah popularitas yang bisa di-fabrikasi.
Begitu pula dengan elektabilitas yang bisa digiring melalui angka-angka dan disebarluaskan oleh para buzzer di media sosial dengan narasi-narasi saling hujat atau puja-puji buta. Pada akhirnya, rakyat pemilih disodori oleh realita palsu yang dibentuk sedemikian rupa.
Pilpres langsung juga sangat rawan terjadi kecurangan yang massif dalam pelaksanaannya. Sebab tidak satupun calon presiden yang bisa memiliki bukti formulir C-1 dari 800 ribu lebih TPS di seluruh Indonesia.
Kata LaNyalla, hal itulah yang seharusnya menjadi refleksi. Bagaimana mungkin bangsa ini dapat melakukan apa saja, termasuk kecurangan dan menghalalkan segala cara untuk meraih kemenangan dan kekuasaan?
Dia berharap para mahasiswa yang tergabung di dalam Lingkar Dakwah Mahasiswa Islam memiliki kesadaran kolektif, untuk “bertaubat” dengan sistem liberal barat yang dipaksakan diterapkan di Indonesia. Yang ternyata memiliki daya rusak yang luar biasa terhadap nilai-nilai luhur bangsa dan negara ini.
“Mari kita hentikan kontestasi politik yang semata-mata ingin sukses meraih kekuasaan dengan cara Liberal. Hal itu hanya menjadikan kehidupan bangsa kita kehilangan kehormatan, etika, rasa dan jiwa nasionalisme serta patriotisme,” tukas dia. (*)