PERSOALAN yang datang silih berganti saat memimpin PDAM Kutim memang berat dijalani. Saya harus terus berusaha menguatkan diri. Tak hanya dari sisi intelektual, namun juga spiritual.
Menjadi pelayan publik tentu membutuhkan profesionalisme. Namun bekal tersebut belumlah cukup. Masih diperlukan akumulasi keikhlasan dan keshabaran dalam memberikan pelayanan yang prima bagi masyarakat.
Saya sempat mengalokasikan porsi besar dalam melatih keshabaran, yang dimulai dari diri sendiri. Saya akui, awalnya saya termasuk pribadi yang “temperamental”. Waktu masih studi di Jakarta dulu, saya sering ribut dengan sopir bus maupun pengendara lain karena disalip di jalan. Bahkan di lingkungan pergaulan, komunitas kami dikenal sebagai gank yang gaul namun “galak”.
Kebiasaan itu kerap terbawa saat saya menjadi karyawan di PDAM Samarinda. Saat itu kalau ada protes atau gangguan wartawan Bodrex alias abal-abal, saya langsung frontal menghadapi. Bahkan Dirut PDAM yang langsung melerai saya.
Namun seiring berjalannya waktu, saya menyadari bahwa sikap temperamental hanya akan menambah permasalahan. Bukannya menyelesaikan, justru meruncingkannya. Karena itu, saya bertekad untuk belajar dan terus belajar bershabar.
Sejak bertugas di PDAM Kutim, saya berkomitmen untuk meninggalkan sikap temperamental dan terus belajar bershabar. Saya menyadari bahwa persolan yang diselesaikan dengan pikiran jernih, hasilnya akan baik.
Saya akui, PDAM juga menjadi institusi yang “cocok” untuk melatih keshabaran. Pasalnya, komplain maupun protes yang tidak proporsional dari pelanggan sering hadir. Dengan keshabaran, komplain dan protes itu bisa berfungsi menjadi ajang tempaan mengembangkan karakter.
Tak hanya itu, keshabaran menghadapi pelanggan juga membuat kami lebih arif dalam menghadapi musibah, tekanan, maupun perkataan yang tidak nyaman. Setelah berbenah, saya merasakan buah manis dari latihan keshabaran. Karena itu, saya berkomitmen untuk terus melatih keshabaran dari waktu ke waktu.
Selain mengemban amanah sebagai Direktur, saya berperan sebagai isteri dan ibu. Saya bekerja atas ridho suami. Saya pun pernah menghadapi dilema. Suatu ketika anak saya sakit. Di waktu yang sama, PDAM menanti keputusan saya terhadap sesuatu yang sangat penting, sehingga diperlukan keberadaan saya di lapangan. Akhirnya, anak saya ajak ke kantor, padahal ia sedang demam tinggi.
Saya memandang profesi, tugas, dan jabatan merupakan amanah yang harus dipertanggungjawabkan secara optimal, baik di dunia maupun di akhirat. Dalam konteks itu, spiritualitas dapat membangun iklim amanah dan profesional di lingkungan kerja.
Karena itu, seluruh pegawai PDAM diupayakan bisa mengikuti training pengembangan kecerdasan emosional dan spiritual. Hasilnya jelas terasa. Yang jelas, banyak pihak, termasuk kami, telah membuktikan ada hubungan antara spiritualitas dan peningkatan kinerja.
Setiap gerak dan langkah kehidupan, mutlak membutuhkan bimbingan Ilahi. Karena itu, sedapat mungkin kita mengisi hari-hari dengan amal ibadah yang dituntunkan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Saya menyakini, bahwa manusia yang baik adalah manusia yang bermanfaat luas. Segala sesuatu yang diawali dengan niat yang baik, maka akan meraih hasil yang baik. (bersambung)