CATATAN AJI MAWAR- Refleksi #KaltimBlackout: Membuka Ruang Empati untuk Pelayan Kebutuhan Dasar Publik

KAMIS (27/5/2021), #KaltimBlackout menggema nyaring di dunia maya. Pasalnya, gangguan mengakibatkan terhentinya pasokan listrik di beberapa wilayah di Provinsi Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Timur.

Sejumlah wilayah pun mengalami blackout. Mulai Balikpapan, Samarinda, Bontang, Sangatta, Tenggarong, Paser, hingga sebagian Kalsel. Gangguan transmisi 150kV menyebabkan terputusnya sistem interkoneksi Kalseteng dengan sub Sistem Mahakam di Kaltim.

Menjelang maghrib, saya mengajak ibunda berbuka puasa di luar rumah. Karena tempat-tempat makan pasti memiliki genset. Ternyata, tempat-tempat makan semuanya dipenuhi warga yang makan malam. Suasana jalanan begitu ramai, seperti malam menjelang Idul Fitri.

Meskipun jelang tengah malam 1.023.428 pelanggan telah menikmati listrik kembali, namun – seperti biasa – hujatan, keluhan, bahkan tudingan bernuansa fitnah terlihat bertebaran menghakimi para pelayan publik yang berjibaku memenuhi kebutuhan dasar warga.

Saya pernah mengalami situasi semacam ini saat memimpin PDAM Tirta Tuah Benua Kabupaten Kutai Timur. PDAM, sebagaimana PLN, juga menjadi institusi yang “cocok” melatih keshabaran. Pasalnya, komplain/protes yang tak proporsional sering hadir ketika terjadi gangguan. Sebaliknya, nyaris tak ada apresiasi dari warga ketika semua berjalan dengan lancar dan baik-baik saja.

Dalam situasi semacam ini, sorotan publik begitu kuat. Apalagi jika gangguan tak cepat teratasi. Saat memimpin PDAM, saya sempat dikontak pelanggan via WA karena dinilai “kelamaan” menyelesaikan masalah kerusakan yang tidak pernah sekalipun kami prediksi.

 

 

Dulu, ketika PDAM belum sebaik dan semandiri sekarang, seringkali kami tidak memiliki stok sparepart; yang kadang bila mendadak ada perbaikan harus memesan dari Samarinda, Balikpapan, bahkan dari Pulau Jawa.

Seringkali kami menyelesaikan gangguan pelayanan air lebih dari 3 hari. Alhamdulillaah, warga Sangatta umumnya memiliki tandon air. Namun cadangan ini biasanya menampung paling lama 2-3 hari saja. Lebih dari itu, masyarakat pasti berteriak dan selalu mengancam demo.

Saya pun bisa merasakan “kegeraman warga”. Pasalnya, ketika pelayanan PLN terhenti lebih dari 8 jam atau pelayanan air terhenti lebih dari 24 jam, semua kegiatan di rumah bakal terhenti. Situasi ini seolah menjadi “pendorong” bagi sebagian pelanggan untuk memaki.

Tetapi, inilah yang menurut saya menjadi nilai lebih bekerja sebagai karyawan di bidang pelayanan kebutuhan dasar publik. Mereka bisa banyak mendapat pahala dibanding pekerjaan lain. Mereka tidak bergaji besar, sudah bekerja keras, tapi sering mendapat makian atau cacian.

Melalui catatan ini, saya mengapresiasi dan menyemangati para pekerja di bidang pelayanan publik. Juga memberikan pemahaman bagi masyarakat bahwa, sungguh, mereka tidak mau melayani warga dengan buruk dan asal-asalan. Mereka juga tak mau dicaci dan dimaki, walaupun dapat pahala dibaliknya apabila benar-benar melaksanakan pekerjaan dengan amanah, tulus, dan ikhlas.

Saya masih ingat, ketika penyertaan modal PDAM Kutim tahap pertama cair. Saat itu ada gangguan pelayanan air, saya tidak tidur guna memonitor pekerjaan di lapangan meskipun dari rumah. Karena saat itu anak saya sedang panas tinggi dan asmanya kumat. Jam 4 subuh, saya menerima pesan dari salah satu warga yang menyebut saya korupsi dan disumpahi karena dianggap makan uang rakyat.

Awalnya sempat marah dan sedih. Saya hanya bisa berdo’a, “Ya Allah, ampuni dosa-dosa hamba di masa lalu dan sukseskan hamba dalam memimpin PDAM”. Bisa dibilang saat-saat awal memimpin PDAM saya sering baper dengan kata-kata yang tidak nyaman.

Tapi lama-lama, kata-kata itu justru menyemangati saya untuk terus membuktikan diri; bahwa sebagai perempuan dengan usia muda, saya mampu mengelola perusahaan pelayanan yang memenuhi kebutuhan dasar masyarakat; dimana hampir 75% karyawannya adalah laki-laki.

Menjadi pelayan publik jelas menuntut profesionalisme. Namun itu tak cukup. Masih diperlukan akumulasi keikhlasan dan keshabaran dalam memberikan pelayanan prima. Dengan keshabaran, deret komplain dan protes bisa berfungsi menjadi ajang tempaan mengembangkan karakter. (*)