KAMIS (10/3/2022), saya menemui perwakilan kelompok tani sawit di Desa Tajer Mulya, Kecamatan Long Ikis, Kabupaten Paser. Terdapat 20 kelompok tani sawit di sana, dengan total luas kebun 850 hektare. Rata-rata petani mengelola kebun sawit plasma, bersertifikat, seluas 2 hektare.
Para petani heran. Pasalnya, tiga bulan terakhir merupakan masa panen raya, namun justru terjadi kelangkaan minyak goreng. Mereka bingung, karena merasa tidak ada kendala ketika panen.
Testimoni para petani kian menguatkan fakta ironis, bahwa kelangkaan minyak goreng pun melanda Kaltim; satu di antara daerah penghasil minyak sawit mentah (CPO) terbesar di negeri ini. Tak hanya langka, harganya pun melambung.
Publikasi Dinas Perkebunan Kaltim, produksi perkebunan kelapa sawit di Kaltim menembus 17,72 juta ton tandan buah segar atau setara 3,8 juta ton CPO pada 2020 (8 persen dari total produksi nasional 47 juta ton). Angka itu diperoleh dari 1,2 juta hektare kebun sawit dan 60 pabrik CPO yang tersebar di tujuh kabupaten. (Kaltimkece, 2022).
Produksi Kaltim kembali meningkat lagi pada 2021 menjadi 4 juta ton CPO. Perhitungan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), 18,42 juta ton CPO dapat dikonversi menjadi 5,7 juta kiloliter minyak goreng. Ketika produksi CPO Kaltim mencapai 4 juta ton setahun, jumlahnya setara 1,24 juta kiloliter minyak goreng. (Kaltimkece, 2022)
Jika satu keluarga perlu tiga liter sebulan atau 36 liter setahun, maka kebutuhan minyak goreng di Kaltim “hanya” 43.200 kiloliter setahun. Namun kondisi saat ini, antrean mengular panjang di minimarket yang menjual minyak goreng HET. Sementara di pasar tradisional, pedagang mengaku sulit mendapat pasokan. Kalaupun ada, harganya jauh di atas HET.
Kondisi penuh ironi ini harus diakhiri. Masyarakat pun kian lantang bersuara; “Kaltim daerah penghasil sawit, kebun sawit jutaan hektar, pabrik CPO puluhan, mengapa minyak goreng langka?”
Wacana mendesaknya hilirisasi industri pun kembali mengemuka, terutama di KIPI Maloy – yang sampai sekarang sepi investor itu. Saya mendukung penuh wacana hilirisasi. Namun prosesnya tidaklah instant di jangka pendek. Pasca berdirinya industri hilir pun masih ada sejumlah PR.
Contoh kasus di salah satu kota di Kaltim, ada anak perusahaan grup raksasa produsen minyak goreng. Namun masyarakat di daerah tersebut sangat sulit mendapatkan pasokan. Mengapa? Karena ternyata perusahaan itu fokus memenuhi pasokan ekspor, bukan pasar nasional – apalagi lokal.
Sebagian pihak juga menyebut jika harus memproduksi minyak goreng di Kaltim, produsen bakal terkendala kemasan – karena botol-botol minyak harus didatangkan dari luar daerah. Setelah dikemas pun, ongkos angkut “barang jadi” melonjak kian tinggi.
Terkini, Kementerian Perdagangan RI menaikkan kewajiban memasok pasar domestik alias domestic market obligation (DMO) CPO dari 20% menjadi 30%, yang mulai berlaku 10 Maret.
Namun kebijakan ini masih menuai sorotan, mulai dari ancaman harga dunia CPO akan semakin liar, perusahaan yang tidak memiliki kebun atau tidak terintegrasi bakal sulit mencari pasokan CPO, hingga kecenderungan memasok untuk biodiesel (yang harganya lebih tinggi dan bersubsidi).
Saya berharap pemerintah benar-benar cermat melakukan monitoring atas kebijakan DMO maupun Domestic Price Obligation (DPO). Jangan sampai ada celah yang dipermainkan. Jangan pula lupakan daerah penghasil CPO. Tak masalah ada kebijakan asimetris. Kasihan para petani yang baru saja panen raya, namun masih kelimpungan untuk memasak gorengan di kampungnya. (*)