CATATAN AJI MAWAR – Memenuhi Hak-hak Anak di Masa Pandemi

Catatan Aji Mirni Mawarni

KAMIS (23/7/2020) pagi, Wakil Presiden Ma’ruf Amin menyampaikan sebuah “pesan tak biasa”. Beliau meminta anak-anak Indonesia tetap semangat menempuh pendidikan; tak bersedih dan berputus asa belajar di rumah, meskipun kondisinya kurang nyaman.

Sebuah pesan yang mengena di Hari Anak Nasional, karena begitu banyak testimoni bahwa learn from home atau pembelajaran jarak jauh (PJJ) begitu menjemukan bagi anak, plus melelahkan bagi orangtua.

Banyak cerita unik. Misalnya, sang ibu hanya punya 1 ponsel namun harus aktif di beberapa grup kelas anak di waktu yang nyaris bersamaan; dengan keterbatasan paket data, memory internal, dan kegagapan mengoperasikan piranti.

Belum lagi di masa work from office, dimana anak-anak terpaksa baru bisa mengumpulkan tugas, bahkan baru mulai mengerjakan tugas, secara “rapelan” saat orangtuanya tiba di rumah; dalam kondisi fisik yang lelah, dengan tugas beberapa anak yang menumpuk, plus deadline yang menekan.

 

 

Saya prihatin dengan kondisi anak yang belajar di rumah pada masa pandemi ini. Saya berharap anak-anak kita tetap mampu beradaptasi dengan kondisi ini. Plus orangtua bisa sabar mendampingi proses belajar anak-anak di rumah. Bukan justru jadi “guru killer” baru bagi anak-anak kita.

Hasil survei Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), April 2020, menunjukan banyak murid yang mengeluhkan proses pembelajaran jarak jauh. Alasannya; keterbatasan kuota, peralatan yang tidak memadai untuk daring, tidak memiliki laptop/Komputer PC, tugas berat dan menumpuk dengan limit waktu yang sempit, hingga kurang istirahat dan kelelahan.

Temuan KPAI juga menyebut bahwa 79,9 persen responden menyatakan bahwa PJJ berlangsung tanpa interaksi antara guru dengan siswa sama sekali, kecuali memberikan tugas dan menagih tugas saja. Hanya sebagian kecil terjadi interaksi antara siswa dengan guru melalui chating, Zoom Meeting, video call WhatsApp; atau kontak telepon.

Tak hanya murid, guru pun juga menghadapi masalah seperti beban berlebihan karena perubahan cara kerja yang signifikan. Mereka juga orangtua. Guru juga bisa mengalami penurunan motivasi karena kondisi sosial emosional, serta tak ada akses pelatihan esensial untuk peningkatan kompetensi.

Masalah lain, guru tidak mampu melibatkan orangtua dalam proses belajar mengajar, serta tidak memiliki kapasitas untuk membuat materi untuk pembelajaran jarak jauh (PJJ). Akhirnya mereka hanya terpikir untuk memberi tugas dan tugas. Padahal tugas dapat berbentuk lain dan lebih menyenangkan.

Tantangan lebih besar akan muncul jika kebijakan ini diterapkan di daerah dengan infrastruktur internet dan teknologi yang kurang memadai seperti di desa-desa. Sebelum pandemi, dunia pendidikan telah memiliki banyak permasalahan.

Kesenjangan dalam pendidikan dan variasi sumber daya merupakan isu yang ada puluhan tahun di ekosistem pendidikan kita, yang kian nyata di situasi pandemi. Apapun kondisinya, negara harus menjamin hak anak untuk mendapatkan pendidikan.

Tantangan saat ini, jangan sampai anak-anak menjadi putus sekolah, terutama di daerah-daerah terpencil. Anak-anak berkebutuhan khusus kesulitan mendapatkan pelayanan pendidikan sebaik saat proses pembelajaran berjalan dengan tatap muka. Problem kesehatan mental anak pun mengemuka.

Tujuan belajar adalah menumbuhkan manusia yang berkomitmen, mandiri, reflektif, cerdas, komunikatif, mampu bekerja sama, inovatif, berprinsip dan berorientasi pada tindakan. Jangan sampai tujuan ini tereduksi karena pandemi. Sebagai reminder, setidaknya ada 4 aspek perlindungan anak yang penting di masa pandemi ini; yakni kesehatan, sosial, ekonomi, pendidikan.

Semoga semua dari kita, baik orangtua, pemerintah, masyarakat, hingga sekolah, mampu memenuhi dan melindungi hak-hak anak secara baik. Secara khusus bagi orangtua, sungguh sangat penting untuk menafkahi anak dengan rezeki halal agar kelak menjadi pribadi yang shalih/shalihah. (*)