CATATAN AJI MAWAR – Kian Menyusut, Lahan Pertanian Kaltim Harus Dilindungi

“Pangan merupakan soal mati-hidupnya suatu bangsa. Apabila kebutuhan pangan rakyat tidak dipenuhi, maka “malapetaka”; oleh karena itu perlu usaha secara besar-besaran, radikal, dan revolusioner”. (Ir. Soekarno)

DIGAGAS sejak 1996, konsep kedaulatan pangan menggaungkan pemenuhan pangan melalui produksi lokal. Kedaulatan pangan bermakna kita memproduksi dan memasarkan bahan makanan kita sendiri, sementara surplus produksi diekspor. Adapun konsep ketahanan pangan terfokus pada ketersediaan bahan pangan di gudang dan pasar; terlepas apakah dari impor atau diproduksi secara lokal.

Kita semua berharap ketahanan pangan, bahkan kedaulatan pangan, bisa terwujud di negeri ini. Namun berbagai tantangan masih panjang membentang, termasuk di Bumi Etam.

Beberapa pekan lalu, saya melakukan kunjungan kerja dan audiensi ke Dinas Pertanian Kaltim, Balai Wilayah Sungai Kalimantan III, Fakultas Pertanian Unmul, serta beberapa KTNA di Samarinda, Kukar, dan Kutim. Terdapat sejumlah masalah yang perlu mendapatkan perhatian serius, baik dari Pemerintah Pusat maupun Pemprov Kaltim. Catatan berseri ini akan membedahnya.

Pada awal 2020, saat rapat bersama Komite II DPD RI, Menteri Pertanian RI secara lisan meminta Kaltim dapat menyiapkan 50.000 Ha lahan pertanian untuk dikelola secara terpadu. Sementara data terbaru tim akademisi Fakultas Pertanian Unmul, lahan pertanian di Kaltim hanya tersisa 38.000 Ha.

Penyempitan lahan terus terjadi. Di Kutai Kartanegara, lahan sawah menyusut dari 17.000 Ha menjadi 6.000 Ha. Di Kelurahan Lempake-Samarinda, menyusut dari 8.800 Ha menjadi 800 Ha. Adapun potensi lahan sawah di Kabupaten PPU sebesar 16.000 Ha, namun yang bisa digarap hanya 8.000 Ha.

Terjadinya penyempitan dan tumpang tindih lahan pertanian serta alih fungsi lahan tersebut akibat aktivitas penambangan batu bara. Pada sisi lain, regulasi terkait alih fungsi lahan belum bisa diberlakukan secara baik, sehingga perlu perlindungan serius terhadap lahan pertanian. Keterbatasan lahan juga membuat Kaltim batal ditetapkan menjadi lumbung pangan nasional tahun 2018.

 

 

Secara faktual, masih ditemukan banyak perusahaan tambang yang tidak melakukan reklamasi dan reboisasi lahan pasca tambang, sehingga lahan tak dapat dimanfaatkan kembali, terutama untuk pertanian. Diperlukan biaya yang sangat besar dalam proses kapurisasi pada lahan pasca tambang.

Peralihan lahan untuk tambang maupun kebun sawit terkesan sangat mudah. Pasalnya, petani maupun pemilik lahan tak lagi bisa mengandalkan hasil pertanian mereka. Contohnya, 8.000 Ha lahan yang direncanakan untuk irigasi di Separi, sekarang beralih fungsi menjadi lahan tambang. Ada pula persoalan lahan tidur karena nutrisi tanah yang tak lagi subur.

Masalah lain, banyak lahan yang tidak produktif selama bertahun-tahun, namun tidak bisa digunakan dan dimanfaatkan oleh petani karena lahan tersebut masuk dalam Hak Guna Usaha (HGU) atau konsensi pertambangan. Perlu upaya serius memanfaatkan lahan potensial yang tersedia.

Contohnya, perlu dukungan terhadap pembukaan lahan seluas 180 Ha untuk lahan pertanian yang dimiliki kelompok petani dari program transmigrasi tahun 70-an sampai dengan 80-an, yang berada di Kelurahan Sindang Sari, Kecamatan Sambutan, Kota Samarinda.

Selama ini lahan tersebut belum dimanfaatkan karena mereka tidak memiliki biaya untuk membuka lahan. Dalam bertani, mereka memanfaatkan lahan yang dimiliki perorangan ataupun bekas sawmill tanpa mengeluarkan biaya sewa. (*)

Sumber foto: ANTARA