CATATAN AJI MAWAR – Jangan Biarkan Kerusakan Lingkungan Terus Berlanjut

BEBERAPA pekan lalu, Alhamdulillaah, saya bersama sejumlah senator mendampingi Ketua DPD RI melaksanakan kunjungan kerja ke Kawasan Timur Indonesia. Ada yang membuat saya sangat terkesan, yakni hamparan hijau yang begitu luas, yang terlihat jelas saat akan landing di Maluku, Maluku Utara, dan Papua Barat.

Saya begitu takjub, sembari teringat tentang kondisi hutan Kaltim – sebagai paru-paru dunia – yang kian tergerus seiring laju deforestasi dan degradasi. Namun saat membaca data terkini dari koalisi NGO, ternyata tindakan yang menggerus daerah hijau kini kian bergeser ke kawasan timur RI.

Data Yayasan Auriga Nusantara, tutupan hutan alam nasional RI mencapai 88 juta hektare. Dari angka tersebut, 80% berada di 10 provinsi ‘kaya-hutan’, yakni Papua, Papua Barat, Kalimantan Tengah (Kalteng), Kaltim, Kaltara, Kalbar, Sulawesi Tengah, Aceh, Maluku, dan Maluku Utara.

Fakta yang terkuak, setelah hutan-hutan Sumatera dan Kalimantan berubah menjadi kebun sawit dan tambang, laju perusakan kini mengarah ke kawasan timur RI. Papua dan Papua Barat saat ini patut memperoleh perhatian lebih, karena telah kehilangan 663.443 hektar hutan kurun 2001-2019.

Kembali ke Bumi Etam, dari 12,7 juta hektar luas Kaltim, terdapat 54% kawasan berhutan (sekitar 6,5 juta hektar). Dewan Daerah Perubahan Iklim (DDPI) Kaltim mencatat dinamika deforestasi (berkurangnya tutupan hutan) dan degradasi (penurunan kualitas fungsi hutan).

Data DDPI, kurun 2016-2017, terjadi deforestasi 122.893 Ha dan degradasi 31.685 Ha (dengan total 154.577 Ha). 2017-2018, terjadi deforestasi 38.098 Ha dan degradasi 17.861 Ha (total 55.959 Ha). Sedangkan di 2019, terjadi deforestasi 28.089 Ha dan degradasi 4.159 Ha (total 32.248 Ha).

Berdasarkan analisis spasial tutupan hutan 2006-2017, terungkap sejumlah pangkal penyebab deforestasi. Yakni kebijakan yang belum memadai untuk melindungi hutan alam yang tersisa di dalam konsesi, kurangnya kerangka insentif yang kondusif untuk praktik manajemen berkelanjutan. Juga perencanaan tata ruang yang belum optimal berimbas ke batas penggunaan lahan yang tidak jelas.

 

 

Selain itu, kemauan dan kapasitas untuk menerapkan praktik manajemen yang berkelanjutan masih kurang. Ada pula problem terbatasnya peluang mata pencarian alternatif bagi masyarakat lokal, serta kurangnya kapasitas untuk pengawasan hutan.

Adapun faktor pendorong deforestasi, dari ranking teratas, yakni perkebunan sawit, hutan tanaman industri, tambang, pembalakan berlebih, pembalakan liar, hingga pertanian, pembukaan lahan tanpa izin, dan pembuatan tambak.

Saat ini Kementerian LHK sedang fokus berupaya memperbaiki kerusakan lingkungan. Namun perlu waktu lama untuk mengembalikan kondisi hutan seperti dulu. Apalagi ditambah sengkarut persoalan kronis inkonsistensi dalam implementasi RTRW, hingga lemahnya penertiban dan penegakan aturan.

Saya ingin mengajak semua orang peduli dengan kondisi kerusakan lingkungan Kaltim, terutama yang disebabkan oleh tambang dan perkebunan sawit yang kurang memperhatikan tata kelola air tanah.

Secara faktual, banjir yang melanda daerah Tanah Datar atau kecamatan-kecamatan lain di Kukar merupakan akibat daerah aliran sungai (DAS) sudah terkikis oleh tambang maupun perkebunan sawit.

Fungsi DAS terganggu karena pendangkalan akibat sedimentasi. Ada pula rawa yang sebelumnya berfungsi menampung air, namun sekarang sudah tertimbun endapan pasir. Ujungnya, banjir pun melanda bahkan mengepung wilayah kota.

Masalah krusial lainnya adalah tata kelola ruang hijau yang semakin berkurang khususnya daerah perkotaan, ditambah sistem drainase yang tidak terkoneksi secara baik. Dari hasil beberapa kali reses saya, terungkap ada faktor manusia yang mempengaruhi.

Misalnya, kurangnya koordinasi antara Dinas PUPR Kota dan PUPR Provinsi. Hal ini terlihat di daerah Kelurahan Karang Asam Ulu; dimana pada sistem drainase yang dibangun oleh Provinsi dan Kota, terjadi penyempitan atau ada yang tidak terkoneksi.

Sudah saatnya pihak berwenang memperketat pengawasan/monitoring pembukaan lahan dan hutan. Juga menegakkan aturan reboisasi, revegetasi, reklamasi, dan rehabilitasi hutan.

Diperlukan pula perencanaan peruntukan kawasan yang sistematis, pengawasan yang matang, percepatan rehabilitasi hutan dan lahan, plus perbaikan terpadu daerah tangkapan air di DAS. (*)

Foto: madaniberkelanjutan.id