CATATAN AJI MAWAR – Investasi Jangan Korbankan Kawasan Hijau

Refleksi Hari Lingkungan Hidup Sedunia 2020

Wawancara dengan Kaltim Post, terbit 5 Juni 2020

Potensi sampah sebagai sumber tenaga listrik belum digarap dengan baik, termasuk di Indonesia. Dua daerah yakni Samarinda dan Balikpapan berpotensi mengelola sampah menjadi energi listrik. Kedua daerah tersebut bisa jadi pengepul sampah bagi daerah sekitarnya. Menurut Bunda, apa yang harus dilakukan Kaltim untuk memastikan bebas dari sampah, untuk memastikan pembangkit listrik yang bersumber dari sampah benar-benar berdiri di Kaltim?

Pertama, sangat penting menumbuhkan kepedulian warga terhadap masalah sampah. Tantangannya cukup terasa, terutama pada tahap pembiasaan dalam keseharian warga. Kedua, diperlukan penguatan edukasi warga dalam upaya pemilahan sampah dan pemanfaatan bank sampah secara efektif.

Dalam proses menyiapkan kedua hal ini, pemerintah juga harus segera berkonsentrasi mengkaji pengelolaan sampah menjadi sumber energi. Jika sudah siap, pemerintah sudah harus menyiapkan pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa) berbasis biomassa. Perlu benar-benar dicermati agar model bisnis dan basis teknologi PLTSa tidak menimbulkan permasalahan hukum, sebagaimana sempat disoroti KPK.

Data Dinas Lingkungan Hidup Kaltim, pada tahun 2018, wilayah Kaltim menghasilkan 832.032,1 ton sampah, yang dalam sehari mencapai 2.279,54 ton. Ini menjadi masalah sekaligus potensi besar. Saya juga mendorong agar secara bertahap beralih pada sumber energi matahari.

Pengelolaan lingkungan di dua daerah tersebut? Apakah karena daerah resapan air yang makin berkurang? Kebijakan yang salah dari pemerintah daerah, terutama Samarinda yang punya begitu banyak izin tambang batu bara? Atau ada yang salah pada sistem drainase sehingga air ketika hujan tidak terkendali?

Samarinda dan Balikpapan pada dasarnya merupakan daerah dataran rendah. Bila daerah-daerah dataran tinggi yang merupakan daerah resapan air dikupas menjadi lahan tambang (seperti di wilayah Samarinda) dan lahan perumahan (di wilayah Balikpapan dan Samarinda), otomatis banjir akan menjadi langganan di daerah rendahnya.

Diperlukan upaya serius menambah lahan hijau di wilayah kota sebagai daerah resapan air. Juga konsistensi dalam melindungi daerah hijau dan konservasi, sesuai Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang disepakati. Jangan mudah “tergoda” mengorbankan kawasan hijau atas nama investasi.

Masyarakat juga perlu meningkatkan partisipasinya. Setiap rumah harus memiliki tempat resapan dan menanam pohon, minimal 2 pohon setiap rumah. Selain itu, perlu segera dilakukan kajian drainase vertikal, agar kedepan pembangunan drainase tidak hanya berpola horisontal.

 

 

Dengan langkah yang tepat, curah hujan yang tinggi dan air yang melimpah akan menjadi cadangan air yang bisa dimanfaatkan. Selain itu, pemerintah perlu mewajibkan setiap gedung-gedung pemerintah dan swasta, serta permukiman memiliki area sumur resapan air atau recharge well.

Selain persoalan tambang yang begitu dominan melingkupi Samarinda, kebiasaan warga membuang sampah ke sungai dan saluran drainase masih terus terjadi. Saya mengajak semua pihak, utamanya warga, untuk tidak membuang sampah di parit dan sungai.

Sebagai langkah jangka pendek mengatasi banjir, perlu dirutinkan jadwal membersihkan sungai dan saluran drainase oleh warga dan pemerintah. Juga pengerukan drainase dan sungai. Normalisasi Sungai Karang Mumus dan Sungai Ampal (Balikpapan) juga harus dipercepat.

Bunda punya harapan apa di Hari Lingkungan Hidup ini? Terutama untuk pengelolaan sumber daya alam di Kaltim yang berpotensi merusak habitat alam di Kaltim?

Saat ini wilayah Kaltim sudah rusak dengan pertambangan dan berubahnya fungsi hutan menjadi perkebunan. Oleh sebab itu, pemerintah harus memperketat pengawasan terhadap reklamasi eks tambang atau perkebunan. Reklamasi dan revegetasi wajib menggunakan tanaman hutan asli sebelumnya, seperti Ulin, Meranti, dan Bengkirai.

Pengelolaan lingkungan hidup juga harus melibatkan masyarakat agar mereka pun lebih peduli dan lebih kritis jika ada kebijakan yang salah dalam pengelolaan lingkungan hidup. Sudah ada best practices di Kaltim yang diakui dunia internasional tentang kontribusi aktif warga menjaga hutan, yakni di Wehea, Kutai Timur. Pola proaktif warga ini sangat perlu diduplikasi di seluruh wilayah Kaltim; warga melindungi hutan, sekaligus tetap sejahtera berdampingan dengan hutan.

 

Tambang batu bara dan perkebunan merupakan permasalahan terbesar yang menyebabkan berkurangnya ketersedian air tanah dan rusaknya kelestarian hutan. Kita sudah memiliki berbagai regulasi yang rinci, namun pengawasan di lapangan seringkali tidak berjalan baik.

Keberadaan Bukit Soeharto, Taman Nasional Kutai, hingga Persik Luwai sebagai paru-paru dunia, semakin hari tergerus pembalakan liar, kebakaran hutan, hingga penyempitan lahan karena menjadi lahan perkebunan. Menurut bunda, pemerintah harus bagaimana menghadapi kondisi tersebut?

Kita harus akui, kondisi ini menunjukkan lemahnya pengawasan pemerintah pusat dan daerah. Kawasan yang dilindungi, justru di dalamnya ada pertambangan atau perkebunan. Situasinya pun terlihat begitu mencolok. Pada sisi lain, dari sisi regulasi pun terdapat celah dan kelemahan.

Secara khusus, UU Minerba yang baru disahkan di tengah pandemi, tanpa mengakomodir aspirasi DPD RI selaku perwakilan daerah, juga menjadi masalah tersendiri. Selain tidak menjaga etika hubungan kelembagaan, UU Minerba sangat bertentangan dengan Nawacita Presiden Jokowi yang selalu digaungkan. Khususnya tentang pembangunan berkesinambungan berbasis lingkungan.

Karenanya, Komite II mendesak pimpinan DPD untuk mengirim nota keberatan dan protes resmi kepada pemerintah dan DPR terkait proses pengesahan UU Minerba. Secara substansi, saya melihat banyak item aturan yang hanya menguntungkan perusahaan; jauh dari spirit melindungi masyarakat dan lingkungan hidup. Bahkan UU ini tidak pro kepada kesejahteraan rakyat dan daerah.

 

 

Di antaranya; pengalihan penguasaan minerba dari pemerintah daerah kepada pusat, baik lingkup kebijakan, pengaturan, pengurusan, pengelolaan, dan pengawasan. Kondisi ini bakal menimbulkan banyak celah, mengingat pemerintah daerah pun kewalahan karena minimnya pengawas pertambangan.

Saya memberi atensi pada persoalan ini. Selain karena lingkup tugas Komite II mencakup lingkungan hidup, latar belakang pendidikan saya adalah Teknik Lingkungan Universitas Trisakti. Saya menilai revisi UU juga begitu menguntungkan pemilik modal. Salah satu titik krusial adalah pasal 169. Ketentuan ini menjamin perpanjangan kontrak karya (KK) serta PKP2B otomatis dua kali dengan durasi 10 tahun masing-masing tanpa pengurangan wilayah tambang.

Apakah Bunda sepakat dengan usulan praktisi lingkungan agar tambang batu batubara, pemanfatan kayu log yang masih berlangsung di Kubar, Berau, Kutim, dan Mahulu agar tidak diberikan lagi karena lebih banyak aspek mudaratnya dibandingkan hasil yang kembali ke Kaltim?

Hal ini harus dikaji secara lebih mendalam. Yang membuat mudharat adalah pengawasan yang lemah dan kurangnya keberpihakan kepada kesejahteraan rakyat.

Yang pasti, komitmen menjalankan good mining practices dan pengelolaan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan harus benar-benar dijaga oleh pelaku usaha dan selalu diawasi ketat oleh pemerintah. Jangan ada deal-deal khusus atau praktik “main mata” yang membuat pelanggaran di lapangan seolah baik-baik saja. (*)