DALAM dinamika pematangan RUU Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (RUU HKPD), mengemuka pandangan “out of the box” Gubernur Kaltim, Isran Noor.
Beliau mengusulkan agar 50 persen keuangan negara diserahkan dan dikelola oleh daerah. Argumennya, urusan pemerintahan lebih banyak di daerah dibandingkan pusat. Segala pengelolaan pembangunan ada di daerah. Sumber pendapatan negara pun sebagian besar berasal dari daerah.
Secara pribadi, saya sangat mendukung pandangan Pak Isran. Khusus untuk Kaltim, sebagai calon IKN, sudah seharusnya mendapat porsi lebih besar untuk membangun hingga ke kawasan pelosok. Pasalnya, selama 76 tahun Indonesia merdeka, pembangunan cenderung difokuskan di Pulau Jawa.
Kita memahami faktor kepadatan jumlah penduduk, sehingga prioritas selalu di Jawa. Padahal masyarakat Kaltim, khususnya di pelosok, juga memilik hak yang sama. Kaltim yang luasnya hampir sama dengan luas Pulau Jawa perlu dana yang besar untuk membangun dan meningkatkan infrastruktur jalan, air bersih, listrik, pendidikan, dan kesehatan hingga ke kawasan pelosok.
Diperlukan pula dana besar untuk memperbaiki kerusakan lingkungan dan deforestasi di Kaltim. Terutama mengembalikan hutan Kaltim yang merupakan bagian dari paru-paru dunia. SDA di Bumi Etam terus dikeruk; sudah seharusnya Kaltim mendapat porsi besar untuk memperbaiki lingkungan dan menyejahterakan masyarakat hingga ke pelosok.
Rusaknya paru-paru dunia turut andil memicu global warming. Contoh nyata yang begitu terasa, peningkatan suhu dan gelombang panas ternyata mempengaruhi kemampuan sayap pesawat untuk menghasilkan daya angkat.
Kenaikan suhu dapat meningkatkan turbulensi selama penerbangan. Waktu saya masih kuliah, jarang sekali penerbangan mengalami turbulensi, kecuali saat hujan. Saat ini, hampir setiap saat saya menempuh penerbangan, mengalami turbulensi.
Selain meningkatkan pembiayaan infrastruktur dan memperbaiki kerusakan lingkungan, diperlukan upaya mengejar peningkatan kualitas SDM. Jangan sampai “IKN baru” berdampak pada permasalahan sosial akut imbas migrasi ratusan ribu atau jutaan orang ke Kaltim.
Jangan sampai masyarakat di pelosok Kaltim tersisihkan karena belum mampu bersaing. Jangan sampai mereka hanya menjadi penonton di daerahnya sendiri. Diperlukan program, alokasi dana, juga fasilitas pendidikan dan pelatihan yang baik, khususnya untuk warga pelosok Kaltim.
Kontribusi vs “Jatah Porsi”
Silakan Anda cermati data perbandingan kontribusi Kaltim dalam PDRB Nasional dengan pendapatan APBD Kaltim. PDRB Kaltim mulai tahun 2013 hingga 2019 tercatat; Rp519,131 triliun / Rp527,515 triliun / Rp503,691 trilun/ Rp509,085 triliun / Rp592,502 triliun / Rp638,12 triliun / Rp 653,68 triliun.
Adapun pendapatan APBD Kaltim mulai tahun 2013 hingga 2019 yakni; Rp11.940.096.024.641 / Rp11.192.326.880.287 / Rp10.497.631.453.406 / Rp7.762.674.455.113 / Rp8.223.730.774.720 / Rp8,541 triliun / Rp10,75 triliun. Dari data ini terlihat, hanya sekira lima persen dari kontribusi PDRB Kaltim yang dikembalikan ke Kaltim.
Semua elemen di Kaltim perlu berjuang keras, kompak, dan sinergis agar daerah mendapat porsi anggaran lebih besar. Ini bukan soal “Indonesia-sentris vs Daerah sentris” atau tidak peduli daerah lain dalam wilayah NKRI, tapi soal keadilan. Dalam fase perjuangan sebelumnya, gugatan Judicial Review UU 33 tahun 2004 telah ditolak MK. Perjuangan menuntut otonomi khusus pun kandas.
Senada dengan pandangan Sekprov Kaltim, saya menilai perlu transparansi plus keseimbangan data antara pusat dan daerah soal acuan perhitungan DBH. Terkait besaran DBH, perlu pembahasan bersama antara pusat dan daerah. Semua harus terbuka, terang benderang, juga “adil dan beradab”.
Namun PR belum selesai. Aspek yang juga sangat krusial setelah berjuang menambah porsi DBH adalah kemampuan mengelola dana secara amanah dan optimal. Pemda di Kaltim harus terus mencegah korupsi dan penyimpangan. Juga meningkatkan penyerapan anggaran. Silpa yang besar justru bikin pusat tidak percaya daerah bisa mengelola dana besar.
Pemda juga harus mumpuni dalam mengelola APBD dan program turunannya. Jangan hanya jadi budget maximizer; dengan kondisi uang APBD habis, tapi tak bermanfaat nyata buat rakyat. Jadikan APBD benar-benar untuk rakyat dan pembangunan, tak semata terkuras untuk belanja pegawai. (*)