CATATAN AJI MAWAR – Bersinergi Wujudkan Kaltim yang Berketahanan Pangan Mapan

Wawancara Kaltim Post, Hari Krida Pertanian 21 Juni 2020

Lahan pertanian Kaltim masih mengandalkan tadah hujan. Sepertinya Sungai Mahakam belum dimanfaatkan maksimal sebagai sumber irigasi bagi pertanian?

Saat ini Sungai Mahakam sudah dimanfaatkan untuk irigasi sejumlah kawasan. Misalnya sistem irigasi berpintu di lahan pertanian pasang surut Desa Sidomulyo, Kecamatan Anggana. Namun, daerah yang dekat Mahakam pun sering menghadapi masalah meluapnya air sungai yang menggenangi persawahan, utamanya di musim hujan. Luapan air seringkali sulit turun lancar kembali ke sungai saat surut.

Bagi daerah yang jauh dari Sungai Mahakam atau sungai besar lainnya, tentu membutuhkan penanganan tersendiri. Agenda ketahanan pangan Kaltim mutlak didukung dengan sistem irigasi yang baik. Kita berharap penyelesaian beberapa bendungan besar, seperti Bendungan Lembakan di Paser dan Bendungan Marangkayu di Kukar, bisa tepat waktu dan bisa tepat guna. Sehingga bisa membantu irigasi dan mereduksi banjir di daerah hilir, yang impact-nya dapat menambah indeks penanaman.

Kaltim impor beras hingga 40 ribu ton per tahun. Mestinya Program pencetakan sawah digencarkan lagi, dan dikawal terus produksi?

Saya berharap lahan-lahan eks tambang bisa dikembalikan ke pemerintah daerah untuk dialihfungsikan menjadi lahan pertanian. Juga lahan-lahan yang tidak produktif lainnya. Termasuk pemanfaatan eks Wilayah Kerja Pertamina di Sangasanga untuk pertanian, yang masih diperjuangkan Pemprov Kaltim.

Kementerian Pertanian telah menyampaikan harapan agar pemda di Kaltim dapat menyiapkan 50.000 hektar lahan yang difungsikan sebagai area pertanian. Kementan siap membantu menggarap bersama lahan tersebut. Hal ini disampaikan langsung oleh Menteri Pertanian RI kepada saya, saat rapat kerja Kementan dengan Komite 2 DPD RI.

Kini pemerintah pusat memang telah menunjuk Kalimantan Tengah sebagai lokasi lumbung pangan nasional (food estate). Namun Kaltim juga harus terus bergerak, apalagi dengan proyeksi pemindahan IKN ke PPU dan Kukar dalam beberapa tahun kedepan. Sejauh ini, kebutuhan beras Kaltim masih mengandalkan pasokan dari Sulawesi dan Kalimantan Selatan.

 

 

Pakar pertanian menghitung kebutuhan pangan di Kaltim untuk sekira 4 juta penduduk, kini masih minus 80 ribu ton beras per tahun. Jika IKN beraktivitas, Kaltim akan kedatangan hingga 1,5 juta orang; perlu tambahan 135 ribu ton. Untuk memenuhinya, dibutuhkan sekitar 43 ribu Ha sawah baru.

Catatan penting, mencetak sawah baru bukan berarti massif membabat hutan. Namun dengan memanfaatkan lahan terbuka yang tidak lagi produktif. Lahan-lahan tidur yang tidak lagi terpakai bisa dialihkuasakan kepada negara, agar bisa dimanfaatkan masyarakat lokal. Baik untuk perkebunan, pertanian, hingga peternakan. Yang terpenting, lahan itu bisa digunakan sepenuhnya untuk masyarakat.

Jumlah sawah di Kaltim terus tergerus pertambangan permukiman, perkebunan sawit. Bagaimana Bunda menanggapi kondisi tersebut?

Agar konflik antara kepentingan pertanian dengan pertambangan-perkebunan tak kian meruncing, harus disikapi dengan konsistensi menjalankan zonasi tata ruang. Ketika terjadi ketidaksesuaian implementasi di lapangan, pemerintah harus cepat meluruskannya. Aturan harus serius ditegakkan.

Tergerusnya lahan pertanian otomatis berdampak pada penurunan produktivitas pertanian. Tidak semata padi, juga perikanan dan peternakan. Untuk menunjukkan keseriusan, pemerintah perlu membuat perda perlindungan pangan dan tanah pertanian. Bagi daerah yang sudah memiliki regulasi, perlu menjalankannya secara konsisten.

Secara faktual, sejumlah daerah yang dikenal sebagai lumbung pangan Kaltim terus digerus oleh aktivitas tambang batu bara. Sumber-sumber mata air yang secara tradisional mengaliri lahan pertanian hilang akibat hilangnya perbukitan sebagai tempat penyimpan air. Bahkan sebagian petani dan peternak ikan terpaksa mengaliri sawah dan kolamnya dengan air yang berasal dari lubang tambang; yang masih perlu dikaji efektivitas dan keamanannya untuk dikonsumsi.

Pemprov Kaltim telah menetapkan lima daerah sebagai sentra produksi beras. Yakni Kutai Kertanegara (Kukar), Kutai Timur (Kutim), Berau, Penajam Paser Utara (PPU) dan Paser. Faktanya, di daerah-daerah tersebut juga masih massif aktivitas tambang. Artinya, proyeksi ketahanan pangan di daerah tersebut masih menghadapi tantangan nyata dan serius.

Menurut Bunda apa yang kurang dari kondisi pertanian di Kaltim?

Mengutip analisis pakar pertanian, lahan pertanian Kaltim banyak terkoreksi karena dialihkan menjadi area perkebunan dan pertambangan. Untuk tahun ini saja, lahan pertanian di Kaltim sudah tergerus 18 ribu hektare; yakni dari 59 ribu hektare menjadi 41 ribu hektare. Dari total tersebut, target percepatan tanam padi pemerintah seluas 34.523 hektare.

Saat ini Kaltim sedang mengalami perubahan iklim yang ekstrem. Bahkan, beberapa lahan pertanian mengalami kebanjiran. Sehingga proses tanam padi yang seharusnya bisa dilakukan di bulan Maret dan April menjadi tertunda.

Hingga saat ini Kaltim belum mampu memenuhi kebutuhan beras daerah. Pemerintah perlu melakukan upaya intensifikasi memacu peningkatan hasil pertanian. Salah satunya dengan menjaga ketersediaan pupuk dan benih padi untuk para petani.

Tantangan bagi Kaltim adalah jumlah petani yang terus menyusut. Penyebabnya adalah tingkat kesejahteraan petani yang belum terjamin. Pendapatan petani masih di bawah UMR. Artinya, diperlukan insentif yang lebih menarik dan menjanjikan bagi pelaku usaha tani. Selain membina warga lokal, opsi mendatangkan petani yang melimpah di luar Kaltim melalui transmigrasi juga perlu dijajaki.

Saat ini jumlah penyuluh Kaltim sekira 600 hingga 700 orang. Padahal idealnya, Kaltim membutuhkan lebih kurang 1.400 tenaga penyuluh pertanian. Peran penyuluh ini penting, meskipun tidak semua petani terbuka terhadap sistem baru. Penyuluh harus terus mendorong petani memperbarui teknik tanam mereka, agar tingkat kesejahteraan bisa meningkat.

APBD Kaltim, APBD kabupaten sepertinya belum menopang pertumbuhan pertanian di Kaltim. Terbukti pertanian Kaltim masih kalah dibandingkan Pulau Jawa apa pendapat Bunda terkait hal ini?

Struktur APBD kita memang lebih banyak terpakai pada belanja pegawai dan belanja barang jasa. Jika ingin memperkokoh ketahanan pangan, perlu dukungan plus keberpihakan yang lebih besar dan nyata dari eksekutif dan legislatif terhadap sektor pertanian. Sehingga kita bisa wujudkan swasembada pangan, bukan semata “panen batu bara dan sawit”. Diperlukan pula dukungan luas dari publik dan dunia usaha.

Secara obyektif, kondisi alam membuat padi Kaltim sulit tumbuh sesubur di Pulau Jawa. Namun, strategi yang tepat masih memungkinkan Kaltim mencapai swasembada pangan. Saya mengutip penjelasan pakar pertanian Unmul bahwa tingkat kesuburan dan keasaman tanah di Kaltim dan Kaltara cenderung rendah, karena mayoritas sawah dicetak di lahan bekas rawa-rawa. Sawah bekas rawa memiliki karakter kandungan hara dan keasaman rendah.

Kaltim memiliki iklim tropika lembab dengan curah hujan tinggi 2,000-4,000 mm/tahun. Sementara, karena kondisi selalu berawan, penyinaran hanya 48 persen atau berkisar 5 sampai 7 jam per hari. Kondisi ini jauh berbeda dengan Jawa yang memiliki lama penyinaran matahari 80 persen.

Karena itu, menjadi kebutuhan mendesak untuk merakit benih yang adaptif dengan iklim lokal. Yakni varietas unggulan spesifik memanfaatkan plasma nutfah padi sawah lokal Kaltim. Padi jenis ini dianggap telah beradaptasi dengan kondisi lingkungan dan tanah Kaltim. Pakar-pakar di Unmul telah menemukan kombinasi persilangan padi yang produktivitasnya tinggi dan masa tanam lebih singkat. Riset yang masih berlangsung ini harus didukung penuh. Termasuk dengan dukungan APBD. (*)