CATATAN AJI MAWAR – Bergerak Bersama Tingkatkan Kesejahteraan dan Kompetensi Guru

PERTENGAHAN 2020, seorang guru honorer perempuan di Lempake, yang telah mengajar selama 15 tahun, menceritakan lika-liku pengabdiannya. Dari sekolah tempatnya mengajar, ia mendapatkan Rp900 ribu gaji pokok. Ditambah insentif Rp700 ribu, yang diterima 3 bulan sekali, terkadang telat.

Beban tugasnya sebagai guru honorer sama, bahkan kadang lebih banyak, dibanding guru berstatus ASN. Ia tinggal di rumah kontrakan dengan sewa Rp1 juta, listrik Rp200 ribu, dan air Rp300 ribu. Gaji yang didapat tak menutupi. Karenanya ia juga menjadi guru les, meski penghasilan tak menentu.

Ada lagi cerita tentang Berta Bua’dera (48), seorang guru honorer di Samarinda. Selama 11 tahun, ia jalan kaki saat berangkat ke sekolah. Ibu satu anak ini berjalan kaki membelah kesunyian menuju SDN Filial 004 di Kampung Berambai, Samarinda Utara.

Rumah Berta dan sekolah terpisah hutan lebat yang berjarak sekitar 5 kilometer. Jalur yang dilewati Berta tak bisa dilewati kendaraan roda dua. Ia harus menaiki bukit dan menuruni lembah. Jalur tersebut terbentuk karena dilalui orang yang berkebun. (nomorsatukaltim.com dan kompas.com, 2020)

Saya sangat berharap pemerintah Kaltim dapat meningkatkan gaji pendidik, khususnya guru honorer. Sangat relevan dan penting menyampaikan hal tersebut pada momentum Hari Guru Nasional saat ini. Apalagi pada periode keduanya, Presiden Jokowi telah mencanangkan peningkatan SDM. Bagaimana bisa dilakukan peningkatan SDM, jika tenaga pendidik tidak sejahtera?

 

 

Wahyudin, Ketua Forum Solidaritas Pegawai Tidak Tetap dan Honorer (FSPTTH), menyebut gaji untuk guru honorer SMA (yang ditanggung Pemprov) memang sudah mendekati UMP. Tapi guru honorer SD dan SMP, masih mendapatkan gaji pokok saja dari sekolah. Nilainya Rp900 ribu, dengan insentif Rp700 ribu. Jumlah tenaga honorer SD dan SMP, di Samarinda saja, kurang lebih ada 4.000-an.

Tenaga pendidik honorer menjadi salah satu ujung tombak pelaksanaan KBM. Terlebih, Kaltim masih kekurangan ribuan guru. Mengutip pandangan tokoh pendidikan Kaltim, Musyahrim, guru honorer yang memenuhi jam mengajar 24 jam per pekan, mestinya besaran pendapatan sama dengan guru ASN.

Pemberdayaan guru honorer untuk menyiasati kurangnya tenaga pendidik sah-sah saja. Namun, pemerintah daerah seharusnya berkomitmen penuh soal kesejahteraan guru honorer. Kesetaraan gaji bukan persoalan bisa atau tidak, tapi bagaimana komitmen riil pemerintah daerah.

Kita semua berharap, guru-guru di nusantara, khususnya Kaltim, bisa terus meningkat kesejahteraannya, seiring dengan peningkatan kompetensinya. Terutama para guru honorer SD dan SMP yang masih menjadi tanggungan pemerintah kabupaten dan kota.

Beberapa daerah, seperti Balikpapan, telah mengupayakan alokasi APBD untuk peningkatan gaji guru di lingkungan Disdikbud, hingga nilainya di atas UMK. Syaratnya, minimal dua tahun berturut-turut mengajar sebagai guru honorer. Langkah ini perlu diapresiasi dan diduplikasi.

Saya juga mengajak perusahaan di Kaltim berkontribusi meningkatan kualitas guru melalui program CSR-nya. Saya mengambil inspirasi dari Kadin Institute yang dirintis 9 tahun lalu oleh Bapak LaNyalla Mahmud Mattalitti, mantan Ketua Kadin Jawa Timur (yang kini menjabat Ketua DPD RI).

Kadin Institute (KI) Jatim dibentuk sebagai salah satu upaya meningkatkan daya saing melalui capacity building via jalur pendidikan dan pelatihan. KI mendapat dukungan dari banyak perusahaan, melalui program CSR-nya. Pola ini sangat potensial untuk diadaptasi dan dikembangkan di Kaltim, dengan salah satu fokus program peningkatan kualitas dan kompetensi guru. (*)