USULAN yang disampaikan Kementerian Agama RI tentang kenaikan Biaya Perjalanan Ibadah Haji (Bipih) 1444 Hijriyah/2023 menuai sorotan tajam. Pasalnya, kenaikan itu diusulkan justru ketika Kerajaan Arab Saudi menurunkan biaya haji (khususnya paket layanan di Arafah, Muzdalifah, dan Mina tanggal 8-13 Dzulhijjah) hingga 30 persen.
Kemenag mengusulkan Bipih 2023 senilai Rp98.893.909. Dari angka itu, biaya yang dibebankan kepada jamaah Rp69 juta (70 persen). Padahal 2022 lalu, biaya yang dibebankan Rp39 juta. Ada kenaikan Rp30 juta, hampir dua kali lipat. Adapun 30 persen sisanya bakal ditanggung dana nilai manfaat (Rp29,7 juta). Sedangkan tahun lalu, nilai manfaat mencapai Rp58,5 juta (40,5 persen).
Pemerintah juga berencana menurunkan biaya hidup atau living cost bagi calon jamaah haji 2023 menjadi 1.000 riyal Saudi atau sekitar Rp4,080 juta. Padahal, tahun lalu, living cost yang diberikan 1.500 riyal Saudi per jamaah. Kemenang menyebut perubahan pola ini “demi keberlanjutan dana haji dan ‘keadilan’ terhadap jamaah yang akan berangkat di tahun-tahun selanjutnya”.
Hal ini tentu mengejutkan ummat, khususnya mereka yang telah menabung bertahun-tahun demi cita-cita yang besar. Saya mengetahui langsung perjuangan beberapa kenalan; yang telah melalui masa penantian panjang, pelan-pelan menabung biaya pendaftaran dan pelunasan, lalu dikejutkan dengan kabar ini. Harus menunggu puluhan tahun, ketika masa berangkat justru dananya kurang.
Melalui catatan ini, saya menyoroti beberapa persoalan serius. Pertama, harus dilakukan audit menyeluruh dan transparan terhadap dana haji, termasuk mendeteksi kemungkinan salah kelola. Pihak berwenang bisa masuk jauh dan dalam menyelami pengelolaan dana haji selama beberapa tahun terakhir.
Kedua, Komisi terkait di parlemen perlu kembali meminta keterangan Kemenag, plus Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) terkait skema detail Bipih 2023. Keterangan yang lebih utuh akan disinkronkan dengan hasil audit dana haji. Terutama soal “nilai manfaat riil” yang berhak diperoleh jamaah dari masa ke masa, yang semestinya telah dikalkulasi dan dikelola secara prudent.
Ketiga, tinjau ulang dan lakukan rasionalisasi komponen total biaya haji. Angka Rp98,8 juta per jamaah masih berpotensi dikoreksi. Yang pasti, perlu langkah efisiensi dengan memangkas hal-hal yang kurang diperlukan agar pembiayaan penyelenggaraan ibadah haji tidak membengkak.
Keempat, tinjau ulang skema investasi dana haji. Jangan sampai ada bagian yang terkontaminasi dengan sistem ribawi. Mengingat haji merupakan ibadah yang penting bagi ummat Islam, lalu lintas uang yang diinvestasikan harus benar-benar bersih; guna menjaga keberkahan dan kemabruran.
Sangat menarik beberapa usulan yang disampaikan Wakil Ketua MPR RI, Bapak Hidayat Nur Wahid (HNW). Beliau menyarankan penguatan lobi dan negosiasi terkait penyelenggaraan maupun pembiayaan haji; baik dengan Kerajaan Saudi maupun dengan kontraktor akomodasi, konsumsi, dan transportasi, sehingga biaya haji bisa tetap mampu dijangkau.
Juga lobi terhadap maskapai. Biaya penerbangan yang disebut Menag Rp33,9 juta sangat tidak realistis. Hasil pencarian harga tiket PP Jakarta-Jeddah musim haji 2023 (Juni-Juli) berada di kisaran Rp 17-20 Juta. Itu harga perorangan. Apalagi Pemerintah menerbangkan 221 ribu jamaah, sehingga layak memperoleh harga yang lebih murah, di tengah trend turunnya harga minyak dunia.
Menarik pula wacana memperpendek masa tinggal jamaah di Arab Saudi dari 40 hari menjadi 28 hari (4 pekan). Yakni dengan penyesuaian jadwal penerbangan dan pemanfaatan bandara di luar Jeddah dan Madinah, misalnya Bandara Thaif dan Bandara Internasional Prince Naif bin Abdulaziz (Qassim).
Persoalan Bipih harus diungkap tuntas, termasuk isu miring dana haji dipakai untuk infrastruktur. Karena yang dikelola adalah dana ummat – bukan subsidi negara (APBN) – maka harus dipertanggungjawabkan kepada ummat secara terang benderang. Tak perlu pelintir makna istitha’ah (mampu) bagi jamaah, karena semestinya negara benar-benar melayani dengan pengelolaan dana haji yang akuntabel. (*)