PEKAN lalu, saya melaksanakan kunjungan lapangan ke beberapa kecamatan di pedalaman Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kutai Timur. Kami membelah “belantara Borneo” dengan rute Sebulu-Muara Bengkal-Muara Ancalong-Batu Ampar-Muara Wahau.
Perjalanan berangkat, kami melewati jalan kawasan Hutan Tanaman Industri (HTI), jalan provinsi, dan jalan kabupaten. Sedangkan perjalanan kembali, kami menempuh jalan negara trans Kalimantan.
Sepanjang perjalanan, beberapa kali kami terjebak amblas. Bahkan menjelang masuk Kota Samarinda sebagai ibukota Provinsi Kaltim, kami terjebak banjir di ruas jalan negara, yang kuat diduga imbas aktivitas pertambangan.
Data BPS Kaltim 2019, panjang jalan di seluruh wilayah Kaltim tercatat 15.353,06 km. Jika dipilah menurut kewenangannya, ada tiga jenis jalan, jalan negara, jalan provinsi, dan jalan kabupaten/kota. Jalan negara sepanjang 1.710,91 km, jalan provinsi 895,09 km, dan jalan kabupaten/kota 12.753,80 km.
Ruas jalan terpanjang ada di Kabupaten Kutai Barat, dengan 3.452,13 km yang terdiri dari 250,90 km jalan negara dan 3.201,23 km jalan kabupaten. Tahun 2019, 80,78 persen jalan negara di Kalimantan Timur berada dalam kondisi mantap, dan 19,22 persen dalam kondisi tidak mantap.
Untuk jalan provinsi, kondisinya dapat dikategorikan menjadi baik, sedang, rusak, dan rusak berat. Di Kalimantan Timur pada tahun 2019 tercatat 10,47 persen jalan provinsi memiliki kondisi baik, 50,97 persen sedang, 21,80 persen rusak, dan 16,76 persen rusak berat.
Jalan merupakan prasarana pengangkutan yang sangat penting keberadaannya dalam menjamin kelancaran kegiatan ekonomi di suatu wilayah. Oleh karenanya, peningkatan kualitas dan kuantitas jalan perlu dilakukan agar dapat memudahkan mobilitas penduduk serta memperlancar lalu lintas barang dari satu daerah ke daerah lain. Dari sana kemudian ekonomi dapat bertumbuh.
Kaltim merupakan salah satu daerah penyumbang devisa negara tertinggi untuk RI. PDRB Kaltim mulai tahun 2013 hingga 2019 yakni; Rp519,131 triliun / Rp527,515 triliun / Rp503,691 trilun/ Rp509,085 triliun / Rp592,502 triliun / Rp638,12 triliun / Rp 653,68 triliun.
Sebaliknya, alokasi anggaran yang disalurkan pemerintah pusat untuk pembangunan di Kaltim masih sangat terbatas. Hanya sekira 4 persen dari PDRB yang disetorkan. Akibatnya, pembangunan di Kaltim jauh tertinggal dibandingkan daerah lainnya. Dari sisi keadilan, semestinya ada porsi khusus bagi Kaltim di APBN. Terutama untuk mengentaskan infrastruktur dasar.
Pembangunan Kaltim masih dibayangi problem krusial; lambannya transformasi ekonomi menuju SDA berkelanjutan, belum merata dan kuatnya daya saing SDM, belum meratanya aksesibilitas dan konektivitas, kian turunnya kualitas lingkungan hidup, belum tercapainya pelayanan publik optimal.
Infrastruktur di Kaltim perlu mendapat perhatian serius oleh pusat, termasuk jalan. Begitu besar yang diberikan Kaltim untuk NKRI, bahkan SDA sudah mau habis dikeruk. Tapi pembangunan di Kaltim masih diabaikan. Kerusakan lingkungan juga kian parah. Ini menjadi kewaspadaan semua masyarakat dunia, bahwa paru-paru dunia – heart of Borneo – sedang sakit karena kerusakan lingkungan.
Alokasi untuk Kaltim seharusnya lebih ditingkatkan untuk membangun jalan antarkabupaten, antarkecamatan, dan antar desa. Tidak hanya jalan, air bersih dan listrik belum merata. Problem ini terlihat jelas di Kutai Timur, yang luasnya 35.748 km², lebih besar dr Provinsi Jawa Barat (35.378 km²). Belum lagi problem di Kukar, Kubar, Maluhu, dan wilayah lain di Bumi Etam. (*)