oleh Aji Mirni Mawarni*
SELASA, 12 Mei 2020, Revisi UU 4/2009 tentang Minerba telah disahkan. Sejumlah aktivis dan NGO menilai revisi beleid itu menguntungkan pemegang izin raksasa. Rakyat yang terdampak pertambangan disebut makin terpinggirkan. Saya sangat mengapresiasi telaah kritis dari elemen civil society tersebut.
Selain itu, Komite II DPD RI secara kolektif melihat ada dua persoalan fundamental dalam proses pengesahan UU Minerba. Pertama, secara formil, ada tahapan yang salah yang dilakukan DPR berkaitan dengan peran dan fungsi DPD sebagaimana diatur dalam konstitusi dan UU MD3.
Kedua, secara materiil, DPD sudah memberikan pikiran dan masukan yang oleh DPR sama sekali tidak diakomodasi dalam substansi UU tersebut. Karenanya, Komite II mendesak pimpinan DPD untuk mengirim nota keberatan dan protes resmi kepada pemerintah dan DPR terkait proses pengesahan UU Minerba.
Komite II siap menginformasikan materi dan pandangan serta masukan dari DPD terhadap substansi UU Minerba yang tidak diakomodasi oleh DPR kepada para pihak yang mengajukan gugatan atas UU tersebut ke Mahkamah Konstitusi.
Komite II memandang persoalan UU Minerba yang telah disahkan oleh DPR tanpa mendengar masukan DPD sebagai bentuk pengabaian apa yang telah di amanahkan oleh UU MD3 dan dan tidak menjaga etika dalam kelembagaan. Termasuk putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012.
Ketiga, saya memandang bahwa UU Minerba sangat bertentangan dengan Nawacita Presiden Jokowi yang selalu digaungkan. Khususnya tentang pembangunan berkesinambungan berbasis lingkungan.
Secara substansi, saya melihat banyak item aturan yang hanya menguntungkan perusahaan; jauh dari spirit melindungi masyarakat dan lingkungan hidup. Bahkan UU ini tidak pro kepada kesejahteraan rakyat dan daerah.
Di antaranya; pengalihan penguasaan minerba dari pemerintah daerah kepada pusat, baik lingkup kebijakan, pengaturan, pengurusan, pengelolaan, dan pengawasan. Kondisi ini bakal menimbulkan banyak celah, mengingat pemerintah daerah pun kewalahan karena minimnya pengawas pertambangan.
Revisi UU juga begitu menguntungkan pemilik modal. Salah satu titik krusial adalah pasal 169. Ketentuan ini menjamin perpanjangan kontrak karya (KK) serta PKP2B otomatis dua kali dengan durasi 10 tahun masing-masing tanpa pengurangan wilayah tambang.
Berikutnya, sebagaimana disuarakan aliansi NGO, penghapusan pasal 83 ayat 4 UU lama. Pasal ini mengatur batasan luas wilayah IUPK (WIUPK) untuk produksi pertambangan batu bara paling banyak 15 ribu hektare. Tanpa pasal ini, boleh jadi tidak ada lagi batasan maksimal WIUPK.
Secara resmi, Komite II DPD RI telah memberikan pandangan dan masukan atas RUU Minerba kepada Komisi VII DPR RI. Sayangnya, hampir seluruhnya tidak diakomodir. Di antaranya tentang pentingnya pelibatan BUMDes dalam usaha pertambangan Indonesia, yang bertujuan memperkuat perekonomian daerah dan kesejahteraan masyarakat.
Kami juga mendorong kerjasama antara BUMN dan BUMD dengan pihak lain untuk melakukan kegiatan eksplorasi. Kontrak bagi produksi penting dinormakan untuk memberikan kesempatan yang besar bagi BUMN dan BUMD untuk mengelola wilayah pertambangan.
Untuk pelestarian lingkungan, kami menilai bahwa dalam melakukan eksplorasi SDA, khususnya mineral logam dan batubara harus mempertimbangan aspek lingkungan dan sesuai dengan aspek tata ruang, kecukupan lahan, serta jumlah cadangan mineral logam.
Aspek pelestarian lingkungan yang berkelanjutan harus diperhatikan dengan mempersempit ruang ekspansi pengerukan pertambangan secara besar-besaran. Juga perlunya keterlibatan pengusaha kecil dalam usaha pengolahan dan pemurnian minerba. Pelibatan koperasi, UMKM dan BUMDes setempat akan dapat meningkatkan perekonomian wilayah setempat.
Kami juga meminta agar perizinan tambang melibatkan pemda. Selain itu, UU harus menyinkronkan kewenangan pemda dan berdasarkan pada jenjang. Dengan begitu, ada kepastian terkait kewenangan pemda dan tidak tumpang tindih. (*)
*Anggota MPR RI / Komite II DPD RI Periode 2019-2024 Dapil Kaltim