Komite II DPD RI Minta Masukan Pakar Maritim Terkait Revisi UU Pelayaran

DPD RI – Komite II DPD RI meminta masukan pakar terkait RUU Tentang Perubahan Ketiga atas UU No. 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran. Hal itu bertujuan untuk memperkaya perumusan pandangan dan pendapat DPD RI terhadap RUU Pelayaran.

“Seluruh masukan ini akan dicatat dan digunakan sebagai referensi pokok dalam merumuskan pandangan dan pendapat DPD RI terhadap RUU Pelayaran,” ucap Wakil Ketua Komite II DPD RI Aji Mirni Mawarni di Gedung DPD RI, Jakarta, Selasa (20/8/24).

Dalam rapat tersebut, Anggota DPD RI Provinsi Kalimantan Timur Marthin Billa menjelaskan UU Pelayaran perlu segera dibenahi karena selama ini terjadi overlap dan tumpang tindih di lapangan. Maka revisi UU Pelayaran diharapkan bisa mempertegas kementerian atau lembaga yang bertanggung jawab atas pelayaran di Indonesia.

“Selama ini terjadi tumpang tindih kebijakan, sehingga revisi UU ini harus bisa mempertegas kementerian atau lembaga mana yang bertanggung jawab,” tukasnya.

Anggota DPD RI asal Provinsi Sulawesi Tengah Lukky Semen juga menjelaskan DPR RI, Pemerintah, dan DPD RI telah menyelesaikan revisi UU No. 32 Tahun 2014 Tentang Keluatan secara terbatas. Untuk itu, ia berpesan agar revisi UU Pelayaran jangan sampai bertabrakan dengan UU Kelautan. “Perlu hati-hati dalam revisi UU Pelayaran, jangan sampai berbenturan dengan UU kelautan,” tegasnya.

 

 

Di kesempatan yang sama, Aktivis dan Pemerhati Kemaritiman Indonesia Soleman B Ponto menilai revisi UU Pelayaran membawa konsekuensi besar dari segi pengaturan keselamatan. Menurutnya, revisi pada pasal 1 Angka 59 UU Pelayaran tidak hanya bertentangan dengan pasal-pasal lain dalam UU Pelayaran, tapi juga berdampak langsung terhadap kompetensi absolut Kementerian Perhubungan.

“Salah satunya pengurangan kewenangan Kementerian Perhubungan dalam pengawasan maritim sehingga berpotensi tumpang tindih kewenangan, dan lemahnya koordinasi lintas lembaga yang berdampak buruk pada keselamatan serta keamanan di laut,” tukasnya.

Soleman juga menyinggung keinginan Presiden Joko Widodo untuk memperkuat Badan Keamanan Laut (Bakamla) sebagai Coast Guard Indonesia juga bertentangan dengan arah revisi UU Pelayaran. Ia menilai hal ini justru mempersempit fungsi lembaga pengawas. “Akibat dari revisi ini, tidak hanya akan menciptakan kekosongan hukum dalam penegakan keselamatan maritim, tetapi juga berpotensi melanggar asas kompetensi absolut. Pada akhirnya membuka ruang untuk dilakukan judicial review,” imbuhnya.

Sementara itu, Indonesian National Shipowners Association Darmansyah Tanamas mengatakan bahwa dalam sudut pelaku usaha menginginkan adanya kepastian hukum dalam pelayaran Indonesia. Untuk itu, pihaknya menyambut baik adanya revisi UU Pelayaran sehingga adanya lembaga tunggal yang mengatur keamanan dan keselamatan laut Indonesia. “Kami ingin ada kepastian hukum dalam dunia pelayaran Indonesia, maka kami berharap ada lembaga tunggal yang mengatur keselamatan dan keamanan di laut,” paparnya. (*)