DPD RI – Keberadaan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) masih berorientasi pada kuantitas dan tidak memperhatikan aspek kualitas, sehingga berpotensi menyebabkan kerugian dalam pengelolaan keuangan desa dan tidak memberikan implikasi apapun dalam pembangunan desa.
Permasalahan inilah yang menjadi dasar bagi Panitia Perancang Undang-Undang (PPUU) DPD RI untuk menyusun RUU BUMDes.
Ketua PPUU, Alirman Sori menilai UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa sangat parsial dan tidak ada ketentuan yang secara konkrit mengatur tentang keberadaan BUMDes. RUU ini diharapkan memberikan penguatan bagi daerah untuk membangun desa melalui pengembangan BUMDes.
“Peraturan Pemerintah (PP) yang lahir sebagai turunan dari UU itupun, justru membuat kepala daerah semakin pusing karena aturan yang saling tumpang tindih,” ujar Alirman.
Anggota PPUU asal Sumatera Utara, Badikenita Boru Sitepu mengatakan perlu diatur regulasi yang mengklasifikan BUMDes sesuai dengan potensi dari masing-masing desa. Selain itu, juga harus disiapkan sumber daya manusia yang memiliki kemampuan mengelola BUMDes dengan baik.
“RUU ini harus punya standar dan tujuan yang pas, bagaimana dengan kapasitas desa, kepemimpinan dan sumber daya, semuanya mempengaruhi output,” katanya.
Sementara itu, anggota PPUU asal Kalimantan Tengah, Agustin Teras Narang menilai perlunya kajian tentang perlunya pengaturan BUMDes dibuatkan dalam sebuah payung hukum baru atau cukup untuk memperkuat UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Selain itu, perlu ditentukan desa-desa yang memiliki BUMDes dengan kualitas yang baik sebagai percontohan.
“Desa yang berhasil dalam mengembangkan BUMDes dapat menjadi contoh kajian dalam menentukan kerangka aturan dalam RUU ini,” ungkapnya.
Sementara itu dalam pemaparannya, praktisi Sosiologi Pedesaan dan Ekonomi Politik Lokal, Sofyan Syaf menjelaskan bahwa BUMDes belum menjadi fokus bagi gerakan ekonomi kerakyatan dikarenakan beberapa hal seperti rendahnya kualitas sumber daya manusia di pedesaan, tidak didukung dengan perencanaan bisnis berbasis data presisi dan keberadaan BUMDes yang belum mampu mengubah mindset generasi muda.
“Akibatnya BUMDes tidak mampu membuat desa menjadi berdaya, karena kehadirannya tidak berpijak pada kekuatan livelihood warga desa. Yang terjadi justru laju pembangunan pertanian dan desa melambat,” ujarnya.
Dosen Fakultas Ekologi Manusia IPB ini menilai fokus yang seharusnya didorong oleh DPD RI dalam pembahasan RUU BUMDes adalah mendorong pengembangan BUMDes ke arah ekonomi produktif, dimulai dengan pembenahan dari sektor hulu, onfarm hingga hilir. Memanfaatkan pemuda desa untuk manajerial juga merupakan kebutuhan yang mendesak.
“Pendidikan vokasi sangat dibutuhkan guna membangun kemampuan teknis mengelola usaha, mengetahui nilai ekonomi desa dan peluang bisnis serta kemampuan membangun kerjasama antar desa, dan transfer pengetahuan kepada pemuda desa,” tambahnya.
Sementara itu, Peneliti Institute for Research and Empowerment (IRE) Yogyakarta, Sukasmanto menilai problem yang harus disikapi dalam pengembangan BUMDes adalah ketidakjelasan kewenangan desa atas aset-aset desa. Aset dan potensi desa belum mampu ditata dan dikelola dengan baik karena banyak pihak yang berkepentingan terhadap aset desa dan aset yang ada di desa.
“Pemerintah perlu mengeluarkan regulasi untuk menyelaraskan kebijakan antar kementerian yang berkepentingan pada aset-aset yang ada di desa agar dapat dikelola dan dimanfaatkan desa, dan pemerintah daerah mempercepat proses inventarisasi aset agar bisa dikelola desa, sehingga perlu dilakukan pemisahan kekayaan desa,” jelasnya. (*)