Pemerintah Berencana Batasi BBM Subsidi, Ketua DPD Tekankan Perlu Model Distribusi Tepat Sasaran

DPD RI – Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti meminta pemerintah menemukan model distribusi BBM bersubsidi sehingga memastikan subsidi tepat sasaran, tepat volume dan tidak mengalami kebocoran anggaran subsidi.

Jangan sampai pembatasan juga menghantam kelas menengah ke bawah. Harus dipastikan pembatasan itu menyasar kelas menengah ke atas. Karena irisan kelas menengah atas dan bawah itu penting ditemukan indikator sekaligus model atau pola pembatasannya.

“Kelas menengah yang menuju bawah itu sejatinya juga rentan miskin dan bahkan miskin. Karena inflasi sudah menggerus daya beli mereka. Ini terbukti dari kontraksi angka PPN yang mengalami penurunan tajam. Itu artinya daya beli masyarakat menurun, atau dari rentan miskin telah menjadi miskin,” tandas LaNyalla, Rabu (10/5/2024).

Data Kementerian Keuangan menunjukkan penerimaan PPN DN pada semester I-2024 tercatat Rp 193,06 triliun. Angka ini anjlok Rp 23,9 triliun atau 11% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

Data Kemenkeu juga mencatat ini kali pertama PPN DN mengalami kontraksi sejak semester I-2020 atau empat tahun terakhir. Ironisnya, kontraksi justru terjadi saat Indonesia keluar dari pandemi Covid-19.

 

 

“Sehingga harus ditemukan model atau pola yang menjamin bahwa pembatasan subsidi BBM dan LPG harus benar-benar tepat sasaran. Terutama untuk di daerah-daerah. Termasuk tata kelola distribusi dari Pertamina sendiri yang harus terus diperbaiki di tingkat kebocoran dan kehilangan minyak dan LPG,” urai mantan Ketua KADIN Jatim tersebut.

Rencana pembatasan subsidi BBM mencuat setelah Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, menyatakan pemerintah akan membatasi pemberian subsidi mulai 17 Agustus 2024.

Luhut mendalilkan bahwa masih banyak orang yang tidak berhak menerima subsidi, tapi menikmati. Sehingga hal itu harus dikoreksi. Karena semakin membebani kesehatan fiskal negara. Dimana ke depan, beban fiskal akan semakin berat, dan tidak menguntungkan bagi kepentingan pembangunan.

Sebelumnya, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu Febrio Kacaribu mencatat ada 60 persen orang kaya yang menikmati BBM subsidi.

Begitu pula dengan subsidi gas melon yang disalahgunakan. Febrio merinci 57,9 persen pengguna LPG 3 kg adalah orang-orang mampu, bukan keluarga miskin.(*)