DPD RI – Wakil ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Sultan B Najamuddin menyampaikan pandangan terkait peningkatan peran DPD di era otonomi daerah. Sebuah isu yang masih menjadi pertanyaan dan diskursus publik dan para ahli ketatanegaraan.
Dalam FGD yang mengusung tema “Hampir tiga dekade, otonomi daerah sudahkah sesuai harapan” itu Sultan mengatakan sejatinya DPD RI mampu berperan dan berkontribusi secara signifikan dalam mendorong percepatan konsolidasi demokrasi dan kemandirian fiscal daerah.
“Bisa dikatakan DPD dan otonomi daerah merupakan dua anak kandung reformasi yang krusial bagi pemerataan pembangunan nasional. Namun, dalam praktiknya, hubungan keduanya belum benar-benar terjalin secara akur dan saling melengkapi akibat ketiadaan mekanisme yang baku antara kedua institusi”, ujar Sultan saat menjadi narasumber Forum Group Discussion di Menara Kompas Jakarta pada Kamis (04/07).
Sultan yang saat mencalonkan diri sebagai ketua DPD RI menerangkan bahwa Indonesia memiliki dua Lembaga parlemen, sehingga bisa dikatakan sebagai parlemen dengan sistem Bikameral. Namun pembagian kewenangan kedua lembaga (DPD dan DPR) belum proporsional. DPD masih terkendala terbatasnya kewenangan. Sementara DPR memiliki kewenangan yang luar biasa dalam fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan.
“Sebagai lembaga perwakilan yang sama-sama menerima mandat daulat rakyat, DPR dan DPD seharusnya bisa bergotong royong dan saling melengkapi dalam tugas dan fungsinya” tegas mantan aktivis KNPI itu.
Untuk meningkatkan kualitas Sistem Bikameral yang belum terbentuk secara sempurna ini, kata Sultan, setidaknya kita bisa mensiasatinya dengan pendekatan Collaborative Parlimament. Kolaborasi kedua lembaga ini, bagi kami merupakan solusi terbaik untuk mendorong peningkatan kualitas legislasi dan pengawasan (check and balance) terhadap kekuasaan eksekutif.
“Tentunya dengan terlebih dahulu merevisi UU MD3 dan UU pembentukan peraturan perundang-undangan. Kami akan melobi para ketua umum partai politik dan mengusulkan revisi kedua UU yang terkait dengan kewenangan legislasi dan pengawasan DPD tersebut”, tegasnya.
“Kita perlu menyiapkan Mekanisme double check dalam penyusunan Undang-undang. Dalam menjalankan fungsi pengawasan, kedua lembaga dapat berbagi peran secara proporsional sesuai jenis UU dan kebutuhan”, urainya.
Lebih lanjut Sultan menjelaskan bahwa DPD secara internal juga perlu meningkatkan kapasitas dan kapabilitas anggota. Standar kompetensi yang ideal bagi calon anggota DPD adalah pra syarat menaikkan pamor dan Marwah lembaga. Baik untuk meraup dukungan publik, maupun untuk menaikan posisi tawar DPD di antar lembaga negara lainnya.
“Oleh karenanya, kami secara pribadi dan sebagai pimpinan selalu berupaya mendorong agar ke depannya agar anggota DPD lebih proaktif dan inovatif sebagai katalisator kemajuan daerahnya masing-masing. Yakni berperan sebagai Mediator, ketika terjadi konflik atau disharmoni, baik secara vertikal maupun secara horizontal. Termasuk konflik yang mengarah pada disintegrasi NKRI”, kata Sultan.
Kedua, adalah peran sebagai Promotor, yang mempromosikan potensi daerah nya, baik ke pelaku usaha nasional maupun internasional. Anggota DPD diharapkan memiliki agenda diplomasi untuk memperkenalkan potensi daerahnya kepada duta besar negara sahabat atau para investor Ketika berkunjung keluar negeri”, sambung Senator asal Bengkulu itu.
Selanjutnya, Peran Agregator, di mana anggota DPD diharapkan mampu menghimpun aspirasi masyarakat dan membaca peta data potensi daerah untuk direkomendasikan kepada pemerintah pusat saat membahas anggaran, khususnya terkait Dana transfer pusat-Daerah.
Dan yang terakhir adalah peran sebagai pengawas sekaligus auditor politik keuangan daerah. Peran ini sangat krusial, mengingat fungsi pengawasan DPD. Selain karena DPD juga terlibat dalam proses perekrutan para komisioner BPK.
“Kami harap DPD bisa dilibatkan untuk bersama-sama dengan BPK atau BPKP melakukan pengawasan keuangan pemerintah Daerah. Hal ini bertujuan untuk menekan potensi jual beli WTP para oknum yang merugikan daerah”, tutup Sultan. (*)