DPD RI – Wakil Ketua Komite I DPD RI, Dr. Filep Wamafma, S.H., M.Hum menjadi narasumber pada dialog publik Eksekutif Nasional Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (EN-LMND). Diskusi yang mengangkat tema ‘Eksistensi Polri dalam Penanganan Konflik Agraria” itu dilaksanakan pada Jumat (6/10/2023).
Dalam paparannya, Filep mengungkapkan deretan fakta dan peristiwa yang menunjukkan lunturnya fungsi dan tugas pokok Kepolisian sebagai pengayom masyarakat dalam penanganan konflik agraria. Filep menyebut sejak Juli 2022 hingga Juni 2023, terdapat 28 peristiwa kekerasan yang melibatkan aparat Kepolisian saat pengamanan sumber daya alam.
“Sepanjang Juli 2022 – Juni 2023, didokumentasikan setidaknya 28 peristiwa kekerasan berkaitan dengan pengamanan Sumber Daya Alam (pertambangan, perkebunan, konflik agraria) yang melibatkan anggota Kepolisian,” ujarnya.
“Sebanyak 28 peristiwa pelanggaran tersebut setidaknya menyebabkan 76 orang luka, 1 tewas dan 157 lainnya ditangkap,” sambung Filep.
Dari gambaran peristiwa itu, Filep menilai aparat Kepolisian seringkali menggunakan kekuatan berlebihan dalam hal pengerahan aparat dan tindakan di lapangan. Menurutnya, aparat seharusnya memfasilitasi protes masyarakat terhadap perampasan tanah mereka dan menjaga netralitas tanpa memihak pada kepentingan pemilik kapital atau pemodal.
Ia pun mengingatkan fungsi dan tugas pokok Kepolisian yang tercantum dalam UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dalam Pasal 2 disebutkan bahwa fungsi Kepolisian yakni menjalankan salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.
Kemudian pada Pasal 13 disebutkan bahwa tugas pokok Kepolisian antara lain memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum dan memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.
“Kekuatan Polisi yang seringkali didasarkan pada paradigma keamanan klasik dengan fokus pada akumulasi kekuatan, penggunaan senjata, dan pendekatan kekerasan harus ditinggalkan, dan kita seharusnya menuju pendekatan keamanan yang lebih humanis dan emansipatif,” tegas senator Papua Barat itu.
Filep juga menyertakan sejumlah contoh kasus yang terjadi di tengah masyarakat seperti yang terjadi pada konflik petani Kalasey. Mengutip laporan KontraS, penggunaan kekuatan secara berlebihan dalam sengketa sumber daya alam tercermin dalam kasus konflik petani Kalasey pada 7 November 2022 lalu itu.
“Dalam peristiwa tersebut, Kepolisian dalam hal ini Polres Manado menggusur lahan dan menghancurkan posko perjuangan petani. Tidak sampai disitu, sebanyak 48 orang ditangkap secara sewenang-wenang dan delapan orang petani mengalami penganiayaan mulai dari pemukulan dengan tangan kosong, pentungan, dan tameng. Perlakuan lainnya yang diterima petani pun dipiting, dicakar, ditendang, diinjak, serta dicaci dengan kata-kata kasar,” ujarnya.
Contoh kasus lainnya yakni kasus dalam aksi damai masyarakat Manggarai Barat. Dia menyebutkan, pada 1 Agustus 2022 lalu, aksi damai masyarakat yang menentang monopoli bisnis pengelolaan wisata Pulau Komodo dibubarkan secara paksa. Sebanyak 42 orang ditangkap dan puluhan orang mengalami penganiayaan selama aksi. Selain itu, terdapat 1 orang yang ditangkap akibat membuat postingan aksi di sosial media dan 2 orang mengalami penganiayaan ketika mengunjungi kawan mereka yang ditahan di Polres Manggarai Barat.
Kasus lainnya yang terbaru saat ini tentang penangkapan sejumlah petani di Jambi yang dituduh melanggar pasal 363 KUHP tentang pencurian dengan kekerasan di lahan sawit Koperasi di Muaro Jambi yang merupakan plasma dari PT. Riky Kurniawan Kertapersada (PT. RKK).
Penangkapan yang dilakukan Polda Jambi itu diduga salah prosedur dan sedang didalami oleh Pengurus Pusat Serikat Tani Nelayan (PP STN). Pasalnya lahan tersebut masuk dalam wilayah izin HTI PT. Wira Karya Sakti (PT WKS) dan masuk dalam lahan hutan di bawah Kementerian LHK RI.
“Kasus-kasus tersebut menunjukkan bahwa Kepolisian seringkali ‘berpihak’ pada perusahaan dan mengabaikan tuntutan masyarakat. Hal ini menunjukan secara gamblang perlakuan hukum secara diskriminatif terhadap kelompok marginal atau dalam posisi yang lebih lemah. Pada akhirnya, hal tersebut menyebabkan kemerosotan kepercayaan masyarakat kepada Polisi,” katanya.
Lebih lanjut, Filep mengutarakan solusi atas kondisi di atas adalah perlunya menegakkan dan merefleksikan kembali peran Polri yang lahir dari rahim masyarakat sipil dan menjadi sahabat rakyat sipil.
“Daripada melakukan penegakan hukum secara diskriminatif terhadap masyarakat, sebagai representasi negara, polisi memainkan peran kunci dalam memastikan perdamaian dan pembangunan berkelanjutan dengan mencegah, mendeteksi, dan menyelidiki kejahatan, melindungi orang dan harta benda, serta menjaga ketertiban dan keamanan publik,” ujarnya.
“Anggota kepolisian sebagai aparat penegak hukum seharusnya dapat melindungi masyarakat dari pelanggaran HAM yang dilakukan pihak ketiga, termasuk perusahaan beserta aktivitas bisnisnya,” sambungnya.
Senator Filep menekankan, dalam konteks konflik agraria, Polri yang berperan sebagai sahabat rakyat sipil dapat memfasilitasi pendekatan kolaboratif, melindungi hak-hak asasi manusia, dan berperan sebagai penengah untuk mencapai solusi yang memenuhi kepentingan semua pihak.
“Fungsi penegakan hukum yang dimiliki oleh Kepolisian sebagaimana mandat UU seharusnya tidak sampai dilaksanakan dengan cara melanggar hukum dan HAM. Dalam konteks penegakan hukum agraria, Polri harus memastikan bahwa tindakan mereka tidak hanya mematuhi peraturan hukum yang ada, tetapi juga memperhitungkan implikasi sosial, ekonomi, dan lingkungan dari tindakan tersebut,” ujar Filep.
“Penegakan hukum harus berusaha mencapai keadilan bagi masyarakat yang terkena dampak dan mempertimbangkan kemanfaatan yang lebih luas bagi masyarakat dan lingkungan,” tutupnya. (*)