DPD RI – Ketua Komite I DPD RI Fachrul Razi menegaskan otonomi daerah saat ini dapat dikatakan tinggal cangkang saja, karena banyak kewenangan desentralisasi yang ditarik ke pemerintah pusat.
Fakta ini tidak terlepas dari inkonsistensi dalam UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) itu sendiri dan juga sebagai dampak dari terbitnya beberapa undang-undang sektoral lain seperti UU Cipta Kerja, UU Minerba dan lain-lain yang telah menarik kewenangan daerah ke pusat.
Tidak semua daerah merasa nyaman dengan penarikan kewenangan tersebut. Belum lagi dengan ambiguitas kedudukan Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat sekaligus sebagai kepala daerah otonom yang pelaksanaannya tidak efektif sehingga perlu dicarikan role model yang lebih tepat.
Di lain pihak, hakikat DPD RI itu sendiri tidak terlepas dari semangat otonomi daerah yang dilahirkan melalui semangat reformasi setelah masa-masa sebelumnya dikungkung oleh rezim sentralisasi. Karenanya, DPD RI melalui Komite I akan segera memprakarsai revisi UU Pemda untuk mengembalikan spirit otonomi daerah dan juga sebagai pintu masuk pemekaran daerah yang sudah cukup lama di moratorium.
Untuk menindaklanjuti hal tersebut, Komite I melakukan evaluasi dan identifikasi materi perubahan UU Pemda melalui kunjungan kerja ke Pemerintah Provinsi Jawa Timur di Surabaya (11/09).
Senator Fahrul Razi menyebut, Provinsi Jawa Timur merupakan provinsi yang telah siap secara struktur dan infrastruktur dan dianggap berhasil dalam merespon pergeseran kewenangan otonomi dari daerah ke pusat sehingga Komite I perlu melakukan sharing experience sebagai bahan masukan revisi UU Pemda nantinya.
Asisten pemerintahan I bidang Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat, Benny Sampirwanto menanggapi Senator Fahrul Razi terkait dengan peran ganda Gubernur, bahwa memang hal ini bermasalah. Peranan Gubernur dalam kedudukan sebagai wakil pemerintah pusat seringkali dilangkahi oleh Kabupaten/kota dalam banyak urusan Misalnya, dalam urusan sosial, seringkali kabupaten/kota langsung bypass ke instansi pusat (Kementerian Sosial) dan tidak melalui Gubernur.
Akibatnya, ketika Provinsi membutuhkan suatu data, maka harus meminta ke pemerintah pusat yang seharusnya data tersebut diberikan oleh kabupaten/kota kepada Provinsi. Oleh karena itu, ke depan perlu dipikirkan penataan ulang kedudukan provinsi yang dipimpin oleh Gubernur, misalnya apakah tidak sebaiknya titik berat otonomi ada di provinsi sementara kabupaten/kota harus bertanggungjawab kepada provinsi.
Terkait dengan efek negatif dari cengkraman sentralisasi akibat penarikan kewenangan otonomi daerah ke pusat, ternyata dinas-dinas daerah yang hadir dalam acara kunjungan kerja ini ikut merasakan. Seperti, ada aturan teknis pusat yang membelenggu keleluasaan daerah dalam melakukan revisi APBD. Dampaknya, muncul kesulitan pemerintah daerah, misalnya, dalam relokasi anggaran untuk bantuan orang miskin. Sementara itu di sisi lain Pemerintah Pusat mendesak daerah untuk mengentaskan kemiskinan ekstrem.
Selain itu, kebijakan pemerintah pusat dalam kemudahan perizinan berefek pada minimnya verifikasi lapangan. Proses verifikasi izin kebanyakan secara formalitas saja (di atas meja). Hal ini dapat menyulitkan daerah dalam melakukan pengawasan dan pengendalian kelak setelah izin tersebut diterbitkan.
Di bidang kesehatan, juga belum ada suatu sistem yang dapat menjamin kendali mutu dalam pelayanan kesehatan ataupun menatakelola distribusi, ketersediaan anggaran dan perpindahan sumber daya tenaga kesehatan. Sementara di bidang ESDM, cukup banyak pula kewenangan yang ditarik ke pusat seperti kewenangan bidang pertambangan, air tanah dan mineral logam.
Pada prinsipnya, stakeholders yang hadir mengharapkan adanya kewenangan otonomi daerah yang luas. Banyak keuntungan yang didapat dari penerapan otonomi luas : daerah memiliki rentang kendali yang lebih dekat dengan masyarakat, menambahkan added value kepada daerah, mendorong investasi daerah, dan pada akhirnya daerahlah yang lebih tahu masalah konkrit yang dihadapi oleh masyarakatnya.
Menurut Senator Ajiep Pandindang, benang kusut dari persoalan otonomi daerah saat ini sebenarnya terletak pada adanya pengaturan kewenangan atau urusan pemerintahan yang tidak jelas batas-batasnya antara pusat dengan daerah. Dengan perkataan lain, dalam UU Pemda, pembagian kewenangan atau urusan pemerintahan tidak dikemas secara konkrit.
Hal ini seolah-olah sengaja di desain demikian agar kewenangan tersebut setiap saat bisa ditarik ke pusat. Oleh sebab itu, kunjungan kerja ini perlu menyepakati untuk merekonstruksi ulang pembagian kewenangan atau urusan pemerintahan antara pusat dengan daerah secara jelas dalam revisi UU Pemda yang sedang digagas oleh DPD RI.
Sementara itu, Senator yang lain juga memberikan masukan-masukan positif, seperti Senator Pangeran Syarif Abdurrahman Bahasyim meminta adanya pelatihan service excelent bagi dokter dan tenaga kesehatan untuk meningkatkan pelayanan masyarakat yang berobat.
Kemudian, Senator Darmansyah menekankan adanya perpaduan antara e-government dengan SDM mumpuni dan device yang mutakhir dalam penyelenggaraan Pemerintah Daerah. Senator lainnya, yaitu Abdul Kholik mendorong adanya sirkulair perekonomian antara Jawa Tengah dan Jawa Timur untuk pemerataan perekonomian di kedua provinsi tersebut.
Kunjungan Kerja di Kantor Gubernur Provinsi Jawa Timur pada 11 September 2023 ini dimulai pada pukul 10:00 WIB dan berakhir pada pukul 12.00 WIB yang dihadiri oleh Beberapa Senator yaitu Hj. Misharti, H. Darmansyah Husein, Haripinto Tanuwijaya, Jialyka Maharani, H. Hilmy Muhammad, Abdul Kholik, H. Muhammad Rakhman, Abraham Liyanto, Asni Hafid, H. Ajiep Padindang, Abdul Rahman Thaha, Hj. Andi Nirwana, Cherish Harriete, H. Iskandar Muda Baharuddin Lopa, H. Abdurrahman Abubakar Bahmid, dan Husain Alting Sjah.
Sementara dari pihak Pemerintah Provinsi Jawa Timur dihadiri oleh Asisten Pemerintah I Provinsi Jawa Timur, Kepala Bappeda, Kepala Dinas Kesehatan, Kepala Dinas ESDM, Kepala Dinas Pendidikan dan OPD lainnya. Selain itu, hadir juga perwakilan dari Kejaksaan Negeri dan instansi pemerintah lainnya. (*)