DPD RI – Senator Papua Barat Filep Wamafma memberikan pandangannya terkait rendahnya penerimaan negara dari Papua yang disampaikan Wakil Menteri Keuangan RI Suahasil Nazara beberapa waktu lalu.
Dalam Raker Komisi II DPR RI dengan DPD dan Pemerintah terkait RUU Papua Barat Daya, Suahasil memaparkan bahwa pendapatan negara berdasarkan region yang diperoleh melalui Pajak dan Penerimaan Negara yang berasal dari Papua Tahun 2016 s.d 2020, memiliki rerata sebesar Rp100 triliun.
Sementara belanja ke Papua baik dari kementerian dan/atau lembaga dan Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) yaitu sebesar Rp462 triliun. Artinya, pendapatan negara dalam bentuk APBN yang diperoleh dari Papua masih berada pada posisi minus terhitung sebesar Rp362 triliun.
Senator Filep menjelaskan, konsekuensi dari dikeluarkannya UU tentang DOB Papua Barat Daya nantinya adalah adanya tambahan transfer fiskal yang signifikan ke DOB Papua Barat Daya. Oleh sebab itu, pemerintah mengharapkan adanya pengawasan penggunaan transfer tersebut agar dapat digunakan sesuai peruntukkan dan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat di Papua.
“Perlu diingat bahwa sampai saat ini, Papua masih mendominasi persentase luas wilayah terbesar di Indonesia sesuai data BPS tahun 2022 dan sumber daya alam yang sangat melimpah. Namun, yang menjadi pertanyaannya, mengapa sumber daya alam yang dimiliki, tercatat belum memberikan pendapatan yang signifikan terhadap daerah dan negara melalui pajak dan retribusi? Sebaliknya, justru Kementerian Keuangan RI mencatat bahwa, rerata belanja untuk Papua (belanja kementerian/lembaga maupun TKDD) justru lebih mendominasi komponen pendapatan,” ujar Filep, Jumat (2/8/2022).
Terkait hal itu, Senator Filep menyampaikan setidaknya terdapat 2 faktor penyebab rendahnya penerimaan negara dari Papua. Pertama, karena sumber penerimaan daerah di Papua didominasi oleh pajak sektor lapangan usaha pertambangan dan penggalian serta hasil sumber daya alam. Sementara volume ekspor produksi sektor lapangan usaha pertambangan dan penggalian serta sumber daya alam, umumnya ditentukan oleh harga dan permintaan pasar.
“Di Papua, hasil produksi sektor lapangan usaha pertambangan dan penggalian serta hasil sumber daya alam yang diekspor, masih dimonopoli produk mentah (row material). Konsekuensinya, penerimaan pajak dan retribusi dari pengelolaan sektor lapangan usaha pertambangan dan penggalian yang diperoleh relatif rendah, jika dibandingkan dengan pajak yang diperoleh dari produk setengah jadi dan produk akhir yang langsung dikonsumsi,” jelas pimpinan Komite I DPD RI ini.
Keadaan itu, lanjut Filep secara jelas dapat dilihat pada Kajian Fiskal Regional Tahun 2020 yang diterbitkan oleh Kanwil Dirjen Perbendaharaan Provinsi Papua, yang mencatat bahwa rerata sumbangan pajak daerah dan retribusi daerah terhadap pendapatan daerah di Papua per tahun sejak Tahun 2016 s.d 2020 yaitu hanya sebesar 3,30 persen dan 0,37 persen.
Selanjutnya, menurut Filep, faktor kedua yang mempengaruhi defisit penerimaan negara itu juga dikarenakan meningkatnya komponen belanja barang dan belanja modal yang mencerminkan belanja infrastruktur guna meningkatkan pemerataan pembangunan di Papua. Sementara di Papua, geografis wilayah dengan tantangan yang beragam menjadi penyebab utama tingginya biaya logistik yang berdampak pada tingginya harga-harga barang (inflasi) di Papua.
Oleh sebab itu, Filep menyarankan bahwa untuk meningkatkan penerimaan daerah itu dapat dilakukan dengan mendekatkan industri dengan pasar input. Menurutnya, hal itu secara tidak langsung akan mengikutsertakan OAP untuk berperan serta baik langsung maupun tidak langsung guna meningkatkan kesejahteraan hidupnya.
“Contoh saja, wujud kepatuhan PT Freeport Indonesia terhadap Kontrak Karya II dengan dibangunnya Smelter Manyar di Gresik Jawa Timur. Smelter Manyar memiliki kapasitas pengolahan konsentrat tembaga sebesar 2 juta ton per tahun, yang menjadikan smelter ini sebagai tempat pengolahan tembaga terbesar di dunia,” jelasnya.
Dampaknya, kehadiran smelter di Gresik memberikan manfaat positif terhadap perekonomian dan kesejahteraan masyarakat di Gresik, melalui penciptaan lapangan kerja dan kontribusi perusahaan melalui pajak daerah. Sementara Papua yang merupakan wilayah penghasil tembaga, tempat dimana PT Freeport Indonesia beroperasi justru tidak memperoleh manfaat yang signifikan terhadap dampak lingkungan dan sosial yang diakibatkan dari adanya aktivitas produksi tersebut.
“Belajar dari cerita smelter, ke depan untuk wilayah-wilayah di Papua yang memiliki sektor lapangan usaha potensial perlu diinventarisir dengan baik oleh Pemerintah (Pusat dan Daerah), dan menghadirkan dan /atau mendekatkan industri dengan pasar input di lokasi aktivitas perusahaan. Ini dimaksudkan agar, masyarakat lokal (OAP) sebagai pemilik hak ulayat dan adat dimana aktivitas produksi dilakukan dapat menerima manfaat ekonomi,” pungkas Filep.(*)