DPD RI – Senator Papua Barat Dr. Filep Wamafma, SH., M.Hum menyoroti tajam terkait fakta dan data yang muncul ke ruang publik tentang keberadaan perusahaan-perusahaan yang tidak memiliki izin namun telah lama beroperasi. Dalam analisanya, bahkan keberadaan sejumlah perusahaan ini seolah mendapat ‘pengampunan’ dalam pelanggaran yang telah lama dilakukan melalui UU yang ada.
Pertama, Filep Wamafma mengungkapkan data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Kementerian LHK) melalui Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (MenLHK), telah menerbitkan 4 Surat Keputusan (SK) tentang Data dan Informasi Kegiatan Usaha yang Telah Terbangun di dalam Kawasan Hutan yang Tidak Memiliki Perizinan di Bidang Kehutanan,
Keempat SK itu antara lain SK.359/MenLHK/Setjen/KUM.1/6/2021 terbit pada 29 Juni 2021 (Tahap I), SK.531/MenLHK/Setjen/KUM.1/8/2021 terbit 30 Agustus 2021 (Tahap II), SK.1217/MenLHK/Setjen/KUM.1/12/2021 terbit 10 Desember 2021 (Tahap III), dan SK.64/ MenLHK/Setjen/KUM.1/1/2022 terbit 21 Januari 2021 (Tahap IV).
“Dalam lampiran SK di atas, ada 3 perusahaan yang sudah memiliki kegiatan usaha dalam kawasan hutan, namun tidak memiliki perizinan di bidang kehutanan yaitu PT Sumber Indah Perkasa, PT Pro Intertech Indonesia, dan PT Inti Kebun Sejahtera,” ujarnya, Jumat (11/2/2022).
Ia menerangkan, berdasarkan catatan Kementerian LHK dalam SK di atas, PT Sumber Indah Perkasa memiliki kegiatan usaha Kelapa Sawit, beroperasi di Kawasan Hutan Produksi, dengan Indikatif Areal Terbuka seluas 6510 Ha; PT Pro Intertech Indonesia di Sorong-Papua Barat, memiliki kegiatan usaha OP Andesit, dengan Indikasi Bukan berdasarkan Citra Satelit, dan PT Inti Kebun Sejahtera di Sorong-Papua Barat, memiliki kegiatan usaha Kelapa Sawit, dengan areal seluas 313,78 Ha.
“Fakta di atas sangat menyedihkan karena perusahaan-perusahaan ini sudah cukup lama beroperasi di Papua atau dengan kata lain bagaimana mungkin izinnya tidak ada namun sudah memiliki kegiatan usaha dalam kawasan hutan? Temuan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan di atas menunjukkan bahwa di daerah-daerah (red, bukan hanya di Papua), masih ada kecolongan dalam investasi. Apakah ini semacam mafia? Penyelidikan lebih lanjut sangat diperlukan di sini,” tegasnya.
Tak cukup sampai disitu, Wakil Ketua I Komite I DPD RI ini menjelaskan, hal yang menarik kemudian, berkat UU Cipta Kerja, 2 perusahaan yang beroperasi di Papua di atas, yaitu PT Pro Intertech Indonesia dan PT Inti Kebun Sejahtera, seolah-olah mendapatkan pengampunan dalam penyelesaian pelanggaran yang telah mereka lakukan.
“Untuk PT Inti Kebun Sejahtera, skema penyelesaian yang disampaikan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan ialah menggunakan Pasal 110A UU Cipta Kerja. Pasal ini menegaskan bahwa setiap orang yang melakukan kegiatan usaha yang telah terbangun dan memiliki Perizinan Berusaha di dalam kawasan hutan sebelum berlakunya UU Cipta Kerja yang belum memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan, wajib menyelesaikan persyaratan paling lambat 3 (tiga) tahun sejak UU Cipta Kerja berlaku,” terangnya.
Dengan penjelasan, apabila setelah lewat 3 tahun sejak berlakunya UU Cipta Kerja perusahaan tersebut tidak menyelesaikan persyaratan-persyaratan, maka akan dikenai sanksi administratif, berupa pembayaran denda administratif, dan/atau pencabutan Perizinan Berusaha. Sementara untuk PT Pro Intertech Indonesia, dikenakan Pasal 110B, juga dikenai sanksi administratif berupa penghentian sementara kegiatan usaha, pembayaran denda administatif, dan/atau paksaan pemerintah.
“Jadi, sanksinya hanya administratif. Secara singkat, dapat dikatakan bahwa Pasal 110A berlaku bagi kegiatan yang memiliki izin usaha tetapi tidak memiliki izin di bidang kehutanan; sedangkan Pasal 110B berlaku bagi kegiatan yang tidak memiliki izin usaha dan tidak memiliki izin bidang kehutanan,” ujarnya.
Keberadaan kedua pasal di atas menurutnya merupakan bagian dari forest amnesty atau pengampunan pelanggaran di bidang kehutanan yang bertujuan untuk meningkatkan penerimaan negara dan pertumbuhan perekonomian, mengembangkan kesadaran dan kepatuhan masyarakat dalam pelaksanaan kewajiban perpajakan serta kewajiban lainnya termasuk rehabilitasi hutan.
Sementara itu, merujuk pada pendapat Henri Subagiyo, Forest Amnesty ini melupakan bahwa hutan seharusnya dilihat lebih dari sekadar sumber daya untuk dimanfaatkan karena terdapat eksternalitas lingkungan yang harus dipertimbangkan secara mendalam. Selain itu, kawasan hutan memiliki tipologi berbeda-beda. Selain perbedaan dalam konteks lanskap, penyebab keterlanjuran seperti konflik kebijakan dengan kesengajaan merampok hutan perlu dibedakan penanganannya.
Lebih lagi, terdapat potensi persoalan pengakuan hak kelola masyarakat yang bergantung pada hutan dengan pelanggaran oleh korporasi. Seharusnya, fokus kebijakan diarahkan pada penguatan hak kelola masyarakat dan penyelesaian konflik tenurial.
“Di sinilah letak ketidakadilan bagi masyarakat di daerah, karena sanksi pidana yang pernah diatur dalam UU Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, dihapus bagi para pelanggar Kawasan Hutan yang berkegiatan usaha sebelum UU Cipta Kerja terbit,” katanya.
Menurut Doktor bidang hukum alumnus Unhas Makassar ini, sanksi administratif bagi para pelanggar Kawasan Hutan ini kemudian diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Denda Administrasi di Bidang Kehutanan.
“Jika mau jujur, ada keberpihakan sistematis yang diciptakan Pemerintah Pusat, mulai dari UU Cipta Kerja sampai pada peraturan pelaksananya, untuk membela pada investor nakal, atas nama pertumbuhan ekonomi.”
“Mau sampai kapan hal ini berlanjut? Meskipun UU Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh MK, namun UU ini masih tetap berlaku dengan persyaratan tertentu, termasuk peraturan di bawahnya. Oleh karena itu, mau tidak mau yang harus dilakukan ialah adanya pengawasan yang ketat di daerah terkait perizinan,” tambahnya.
Adapun kewenangan pemerintah provinsi ialah mengajukan perubahan status dan fungsi kawasan hutan melalui revisi tata ruang, memberikan perizinan berusaha non-kehutanan yang mengubah tutupan hutan, mengelola Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) terkait pengelolaan hutan di tingkat tapak, mengakui Masyarakat Adat melalui peraturan daerah dan memasukkan Perhutanan Sosial dalam rencana pembangunan dan anggaran daerah, dan melindungi dan mengelola hutan alam di Area Penggunaan Lain (APL) dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).
Sementara itu kewenangan pemerintah kabupaten ialah mengajukan usulan perubahan status kawasan hutan kepada gubernur, mengakui Masyarakat Adat melalui peraturan daerah, memberikan perizinan berusaha non-kehutanan yang mengubah tutupan hutan, serta melindungi dan mengelola hutan alam di area APL dalam RTRW.
“Kewenangan-kewenangan di atas, harus dijalankan dengan ketat. Secara teknis misalnya, daerah bisa melakukan verifikasi faktual secara independen terkait kegiatan usaha dari perusahaan-perusahaan. Kasus yang dialami Bupati Sorong telah membuktikan bahwa verifikasi faktual sangat penting untuk menemukan permainan investasi di Tanah Papua,” ujarnya.
Kedua, fakta di daerah mendukung analisa di atas yakni kemenangan Bupati Sorong atas gugatan 3 (tiga) perusahaan perkebunan di PTUN, yaitu pada 7 Desember 2021 gugatan PT Papua Lestari Abadi (32/G/2021/PTUN.JPR), dan PT Sorong Agro Sawitindo (31/G/2021/PTUN.JPR), dan pada Januari 2022 gugatan PT Inti Kebun Lestari (32/G/2021/PTUN.JPR), semakin membuka cakrawala baru mengenai kedok investasi di Tanah Papua.
Filep berharap data dan fakta di atas dapat mendorong pemerintah masing-masing daerah untuk melakukan investigasi lebih serius untuk mengungkap potensi pelanggaran yang ada terlebih di tengah rapuhnya sanksi hukum yang berlaku.
“Dalam rangka ini, DPD RI juga memiliki peran pengawasan dan sekaligus mendorong pemerintah daerah untuk memaksimalkan fungsinya dalam hal investasi di daerah. Daerah bisa mulai melakukan investigasi lanjutan terkait SK yang dikeluarkan Menteri di atas. Hal ini penting untuk menemukan pelanggaran-pelanggaran lain yang berpotensi ada, karena kita tidak bisa hanya berharap dari apa yang ditampilkan oleh citra satelit”.
“Lebih jauh, di tengah rapuhnya sanksi hukum, data yang dihadirkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehuatan terkait ketiga perusahaan yang melakukan kegiatan usaha tanpa izin di atas, setidaknya menjadi pelajaran berharga agar tidak kecolongan lagi di kemudian hari,” tutupnya. (*)