DPD RI – Upaya pemekaran provinsi di wilayah Papua saat ini sedang berjalan oleh pemerintah dan DPR RI. Seperti diketahui pemekaran Papua ke dalam lima provinsi ini merupakan amanat dari Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus terutama pada Pasal 76 tentang pemekaran atau pembentukan Daerah Otonom Baru di Papua.
Senator Papua Barat Dr. Filep Wamafma, SH. M.Hum meyakini pemekaran menjadi langkah dan harapan baru untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Papua sesuai dengan bunyi ayat kedua (2) Pasal 76 UU Otsus, pemekaran bertujuan mempercepat pemerataan pembangunan, peningkatan pelayanan publik, dan kesejahteraan masyarakat, serta mengangkat harkat dan martabat Orang Asli Papua.
Akan tetapi, Filep memandang ada tantangan yang cukup besar mengiringi agenda pemekaran daerah di tanah Papua saat ini. Ia berharap, pemekaran yang bertujuan positif untuk mempercepat peningkatan kesejahteraan ini tidak lantas justru menciptakan kemiskinan baru di Papua.
Hal ini ia tekankan mengingat saat ini pemekaran Papua berjalan bersamaan dengan sejumlah proyek strategis Pemerintah yakni penanganan Covid-19 yang sedang menghadapi gelombang baru dan pembangunan Ibu Kota Negara Baru. Filep menekankan agar jangan sampai program pemekaran Papua yang menjadi amanat UU Otsus ini akhirnya dianak-tirikan.
“Salah satu arah pemekaran ini adalah mengurangi ataupun menghapus kemiskinan di Tanah Papua, baik kemiskinan dalam arti pemenuhan kebutuhan pokok maupun kemiskinan dalam hal pendidikan dan kesehatan. Tetapi coba kita lihat, fokus Pemerintah sekarang bukan hanya pemekaran Papua, tetapi juga penanganan Covid yang mulai memasuki gelombang ketiga, dan terutama pembangunan Ibu kota Baru. Yang mau saya tekankan ialah, kita membutuhkan dana sedemikian besar untuk seluruh pekerjaan Pemerintah ini,” ujarnya.
Terlebih menurutnya, utang Pemerintah saat ini juga sudah membengkak. Kementerian Keuangan melaporkan posisi utang pemerintah hingga akhir tahun 2021 telah menyentuh Rp 6.908,87 Triliun. Nilai tersebut bertambah Rp 195 triliun atau kenaikan 3% dari November 2021, serta meningkat 14% dibandingkan akhir tahun 2020.
“Terus terang saya cukup khawatir dapatkah pemekaran ini dapat dikawal terus, bukan hanya sekadar sampai pada seremonialnya, melainkan terlebih pada transfer dana ke daerah”, kata Filep Wamafma.
Filep melanjutkan bahwa peningkatan transfer dana Pemerintah ke daerah ini menjadi tuntutan dari pemekaran karena pemerintah daerah, termasuk daerah pemekaran baru berhak mendapatkan alokasi dana perimbangan, baik dalam bentuk Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK).
“Kita harus jujur bahwa Papua dan Papua Barat masih sangat bergantung pada dana transfer daerah. Karena selama 2016-2019, Pendapatan Asli Daerah (PAD) Papua tidak pernah mencapai 10 persen dari APBD,” ungkapnya.
Seperti diketahui, pada 2016 sebesar Rp1,098 triliun atau 8,8 persen dari total APBD Rp. 12,438 triliun. Di 2017, persentasenya meningkat menjadi 9,4 persen dari total APDB. Pada 2018, jumlahnya turun ke angka 7,4 persen atau senilai Rp1,009 triliun dari total APBD Rp13,548 triliun. Pada 2019 turun lagi menjadi 6,7 persen sebesar Rp938 miliar dari APBD sebanyak Rp.13,978. Untuk Papua Barat, di 2016 persentasenya 5,1 persen, 2017 persentasenya 5,9 persen, kemudian mengalami penurunan di 2018 jadi 5,8 persen dan turun lagi ke angka 5,2 persen di 2019.
“Nah jika dimekarkan, otomatis transfer dana ke daerah semakin besar, karena setiap provinsi punya hak desentralisasi yang sama. Sanggupkah Pemerintah memenuhi ini semua mengingat ada program pembangunan Ibukota baru dan penanganan Covid?”, kata Filep.
Selain itu, Wakil Ketua I Komite I DPD RI ini mengatakan, untuk daerah pemekaran, penerimaan DAU umumnya lebih diarahkan pada pembangunan prasarana pemerintah seperti kantor pemerintahan, rumah dinas, serta pengeluaran lain yang berkaitan dengan belanja pegawai. Kemudian, pengalaman masa lalu juga menunjukkan situasi yang dapat menjadi pelajaran pada pemekaran saat ini.
“Kajian BPK di 2009 sudah pernah membahas hal ini. Pengeluaran yang berkaitan dengan aparatur pemerintahan ini jelas memiliki pengaruh yang sedikit kepada masyarakat sekitar. Karena itu, aliran DAU kepada daerah pemekaran, menjadi opportunity loss terhadap penyediaan infrastruktur dan pelayanan publik kepada masyarakat. Jadi, apakah kemiskinan dapat diselesaikan? Saya agak pesimis karena di waktu yang sama, pembangunan Ibukota baru dan penanganan Covid pun masih membutuhkan dana yang sangat besar,” jelasnya.
Di sisi lain, Filep juga menyoroti fluktuasi PAD Provinsi Papua dan Papua Barat dalam beberapa tahun terakhir. Menurutnya, sesuai data BPS diperoleh bahwa realisasi total pendapatan pemerintah daerah Provinsi Papua Barat dari tahun 2019-2020 mengalami penurunan dengan total pendapatan dari sebesar 11,34 triliun rupiah pada 2020 menjadi 8,52 triliun rupiah pada 2020, dalam hal ini mengalami penurunan sekitar 24,87 persen.
“Penurunan ini selain disebabkan turunnya Dana Perimbangan dan Lain-Lain Pendapatan yang Sah. Di sisi lain, untuk Provinsi Papua, PAD 2021 sebesar Rp. 2.134 triliun. Meskipun melebihi target yang ditetapkan sebesar Rp. 1.977 triliun, namun capaian tersebut juga dikarenakan adanya sumbangan PAD terbesar dari PT Freeport Indonesia. Sekarang, apakah PAD ini akan naik lagi saat dimekarkan?” ungkapnya.
Oleh sebab itu, Filep menekankan agar jangan sampai setelah pemekaran, Papua dibiarkan begitu saja di tengah padatnya program pemerintah yang lain. Menurutnya, alokasi dana pemerintah pusat menjadi satu insentif dan modal awal bagi pemerintah DOB untuk mengoptimalkan pendapatan sendiri. Kemudian, pada waktunya pemerintah daerah ini dapat mengurangi ketergantungan terhadap keuangan pemerintah pusat dan tidak mereproduksi kemiskinan baru. (*)