DPD RI – Undang-Undang Nomor 30 tahun 2007 tentang Energi sudah diberlakukan selama 14 tahun. Dalam perjalanannya, perlu dievaluasi apakah UU ini cukup kuat dalam meregulasi sektor energi RI.
Sejak dulu, jamak dipahami bahwa potensi SDA fosil RI besar dan akan menguntungkan negara jika mampu dikelola secara tepat. Apakah hal tersebut sudah maksimal dijalankan hingga saat ini?
Dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RPDU) Komite II, Senin (8/10/2021), diulas mengenai perubahan UU tersebut.
Rapat ini dipimipin oleh Lukky Semen, S.E. (Dapil Sulawesi Tengah), selaku Wakil Ketua 3 Komite II dan Bustami Zainuddin (Dapil Lampung) Wakil Ketua 2 Komite II. Rapat digelar di Ruang Majapahit, Lantai 3, Gedung B DPD.
Narasumber pertama, Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi Bisman Bhaktiar,SH. MH, MM mengatakan tidak semua sumber daya energi merupakan kekayaan alam, sehingga tidak semua energi harus dikuasai negara.
“Migas oke lah, tambang oke lah (untuk dikuasai negara). Tetapi tidak semua energi harus dikuasai oleh negara seperti biogas yang dibuat oleh kotoran sapi,” ujar Bisman.
Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia, Dr. Surya Dharma, mengatakan perlunya upaya serius memaksimalkan penggunaan energi baru terbarukan (EBT).
Berdasarkan data UNEP, tren energi dunia, tahun 2050 sudah tidak menggunakan energi dari batu bara dan minyak bumi yang mempengaruhi regulasi mengenai energi.
“Di negara kita, sekarang 10 persen energi terbarukan. Artinya pada 2050 kita harus mencapai 90 persen penggunaan energi terbarukan. Masalahnya, siapa yang akan mengatur?” kata Surya.
Akademisi Dr. Lukman Manurung mengatakan beberapa provinsi di Indonesia seperti Riau, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tenggara serta Sulawesi Tengah memiliki SDA yang bagus, namun justru merupakan daerah yang krisis energi, tertinggal, dan miskin.
Oleh karena itu, ia menyarankan pengalokasian Dana Bagi Hasil SDA ke SDM agar dapat menciptakan SDM unggul melalui pendidikan yang baik.
Wakil dari Kalimantan Timur, Anggota Komite II, Aji Mirni Mawarni, ST, MM, mengatakan investor-investor yang bergerak di bidang energi di Kalimantan Timur, tidak memikirkan kualitas SDM di Kaltim.
“Setelah energi dieksplor, mereka (para investor) meninggalkannya. Rendahnya kualitas SDM setelah habisnya energi yang dikuras akan membuat kota tersebut mati,” kata Mawar.
Oleh sebab itu, Mawar setuju dengan pendapat Lukman mengenai alokasi dana untuk meningkatkan kualitas SDM.
Senator Aji Mawar juga menekankan agar regulasi tentang energi memberi perhatian besar pada energi terbarukan.
“Energi terbarukan berjalan lambat di Indonesia, sedangkan negara-negara maju sudah menutup penggunaan energi fosil. Salah satunya batu bara,” ujarnya.
Bagi investor dan pelaku yang mengembangkan energi terbarukan, ia mendorong untuk diberikan kemudahan bahkan insentif. Pola ini diterapkan di Jepang dan Korea, sehingga cepat maju pengembangan energi terbarukan-nya.
Produk bioenergi, seperti wood pellet, saat ini belum menjadi prioritas Indonesia, padahal dapat menambah nilai ekonomi Indonesia.
Energi terbarukan di Indonesia selama ini hanya berfokus pada produksi listrik ke PLN. Sementara PLN terbatas keuangannya untuk mengganti pembangkitnya dengan bahan energi terbarukan.
“Belum sepenuhnya riset teknologi energi terbarukan yang terintegrasi didukung oleh pemerintah. Hal ini harus menjadi perhatian penting dalam regulasi energi RI,” kata Mawar. (*)