DPD RI – RUU BUMDes di inisiasi dan disusun oleh DPD karena memang ada Dasar Hukumnya, yaitu Putusan MK no 92/2012 dan no 79/2014 dimana dari kedua putusan tersebut secara eksplisit disebutkan:
Pertama, bahwa kewenangan DPD dalam mengajukan RUU diposisikan sama dengan DPR dan Pemerintah.
Kedua, bahwa kewenangan DPD ikut membahas RUU meliputi semua tahapan dan proses pembahasan RUU sampai dengan pembahasan tingkat II/ sebelum tahap persetujuan.
Ketiga, bahwa DPD memiliki wewenang ikut menyusun Prolegnas pembahasan RUU dilakukan oleh tiga lembaga (DPR, DPD, dan Presiden) secara tripartit.
Point-point dari kedua putusan Mahkamah Konstitusi diatas telah menjelaskan secara gamblang bahwa empowerment yang diberikan kepada DPD bukan dimaksudkan untuk melampaui kewenangan legislasi, anggaran, dan pengawasan yang dilakukan DPR.
Namun kewenangan itu diberikan secara proporsional sesuai amanat konstitusi, khususnya merujuk pada pasal 22D ayat (1) dan ayat (2) dalam hubungannya dengan Pasal 20 dan Pasal 5 ayat (1) UUD 1945, dimana MK telah menyatakan konstitusional kewenangan DPD dalam :
a.Mengajukan RUU
b.Ikut membahas RUU
c.Persetujuan RUU
d.Penyusunan Prolegnas
e.Pertimbangan terhadap RUU
Hal ini perlu dikemukakan dalam rangka menanggapi statement salah satu Anggota Komisi V DPR RI, Sudjadi, yang mengaku heran tentang pentingnya kehadiran RUU BUMDes, padahal menurutnya setiap wilayah telah memiliki struktur masing-masing baik mengenai pemerintahan maupun badan usahanya.
Bahkan dalam statement tersebut Sudjadi sempat mengeluarkan kata-kata yang menggelitik dan terkesan melecehkan, yaitu kata “dagelan”.
Wakil Ketua DPD RI DR. H. Mahyudin, S.T., M.M., bereaksi keras atas statement tersebut dengan mengatakan bahwa “DPD RI selama ini telah bekerja keras serta berupaya sekuat tenaga untuk memperjuangkan kepentingan masyarakat dan daerah khususnya di desa-desa dengan inisiasi RUU BUMDes ini.
Sangatlah tidak pantas jika upaya sekeras itu ditanggapi dengan kata ‘dagelan’. Lagipula tidak jelas, kata itu ditujukan kepada siapa? Apakah terhadap Lembaga DPD RI? Atau terhadap 3 (tiga) kementerian terkait yang ia sebutkan yaitu Kemendagri, Kemendes, atau KemenPUPR?.
Terlepas dari pihak manapun yang dimaksud oleh Sudjadi, jelas bahwa statement itu bukan hanya merendahkan Lembaga DPD RI yang secara konstitusional berdiri sejajar kedudukannya dengan DPR RI, tapi juga akan mencederai perasaan masyarakat dan Daerah yang kami wakili”, demikian kata Mahyudin.
Reaksi bernada negatif dari anggota DPR seperti itu muncul selain karena kurangnya pemahaman terhadap aturan kelembagaan dan mekanisme perundangan yang diatur konstitusi, juga karena tidak mengetahui semangat lembaga DPD RI yang mengusung amanat dari daerah (khususnya desa).
“Yang bertujuan agar terjadi pengurangan/ penghilangan disparitas pembangunan khususnya di bidang ekonomi antara pusat dan daerah, terutama di Desa,” kata Mahyudin.
Perlu diketahui bahwa RUU BUMDes bukanlah RUU pertama yang di inisiasi oleh DPD.
Sejak tahun 2010 DPD RI juga telah menginiasi lahirnya RUU Kelautan yang akhirnya masuk Prolegnas dan diundangkan pada tahun 2014.
Mekanismenya juga sama, tidak diajukan melalui sinkronisasi di Baleg DPR, melainkan langsung ke Pimpinan DPR untuk dimasukkan dalam Prolegnas.
Kenapa RUU BUMDes ini sangat penting bagi daerah? Karena BUMDes dapat menjadi sarana dan solusi untuk menciptakan sentra-sentra ekonomi baru di pedesaan, dengan memanfaatkan SDM lokal, dan dapat saling bersinergi dengan dunia usaha di pedesaan.
Salah satunya dengan memanfaatkan keberadaan Dana Desa, namun dengan pengelolaan serta sistem pelaporan yang profesional dan akuntabel.
“Dengan demikian akan terjadi percepatan pertumbuhan ekonomi secara masif dengan fundamental yang kuat sejak dari level terbawah dan impact nya akan sangat besar bagi ekonomi negeri ini, karena pertumbuhan tersebut bersifat riil, massif, dan merata di tiap daerah, tidak lagi hanya tergantung pada APBD Kabupaten/Kota “, kata Mahyudin. (*)