APRIL 2020, Majalah Air Minum memuat kilas fragmen perjalanan hidup saya. Judulnya menggelitik; “Dari PDAM ke DPD RI, Tukang Ledeng Jadi Senator”.
Ya, betul sekali. Sebelum mengemban amanah sebagai wakil daerah Kalimantan Timur di Senayan, saya bertugas sebagai Direktur PDAM Kabupaten Kutai Timur. Kami semua memang “tukang ledeng”, dan saya bangga pernah menjadi “tukang ledeng”, yang berperan melayani khalayak luas.
Kiprah saya sebagai “tukang ledeng” berawal saat menjadi pegawai PDAM Samarinda kurun 2002-2008. Kemudian saya hijrah ke Kutai Timur, mengemban posisi sebagai Direktur Teknik pada 2008, merangkap Pj Dirut pada 2011. Kurun Juni 2011 hingga September 2018, saya mengemban amanah sebagai Direktur Utama definitif.
Ada begitu banyak warna dan cerita selama saya bertugas di PDAM Kutim. Banyak kisah bahagia, banyak pula momen yang menguras pikiran dan tenaga. PDAM merupakan instansi pelayanan publik yang selalu dituntut untuk memberi pelayanan prima, meskipun faktor-faktor yang mendukung dan menguatkan tak selalu tersedia.
Seolah menjadi persepsi umum bahwa ketika pelayanan PDAM berjalan baik, publik merasa itu sudah semestinya, wajar, normal, tak ada yang istimewa. Namun ketika muncul sedikit gangguan, komplain seketika menggema di mana-mana; mulai dari kritik halus sampai makian. Sehingga muncul “anekdot” yang menyebut orang yang bekerja di PDAM adalah “orang-orang yang shabar”.
Dalam catatan ini, saya berbagi tentang pengalaman memimpin PDAM, di kabupaten yang wilayahnya lebih luas dibandingkan Provinsi Jawa Barat. Ini bukan mengada-ada. Luas wilayah Jawa Barat adalah 35.378 km². Sedangkan luas wilayah Kabupaten Kutai Timur, yang terdiri dari 18 kecamatan, adalah 35.748 km².
Ada rangkaian upaya yang panjang dalam mengelola PDAM Kutim; yang diawali dengan pembenahan yang sangat serius. Saya mengawali tugas di PDAM Kutim dalam kondisi yang sangat tidak ideal. Para karyawan tidak gajian selama 18 bulan, utang usaha menumpuk, listrik perusahaan beberapa kali diputus oleh PLN. Bisa dikatakan, saat itu PDAM Kutim dalam kondisi sakit parah.
Pada periode awal, saya mengumpulkan beberapa karyawan yang benar-benar memahami kondisi perusahaan. Dari sekian banyak karyawan, hanya beberapa yang benar-benar memahami situasi. Sebagian besar hanya melaksanakan tugas sesuai keinginan, terlebih belum ada SOP yang rapi.
Para karyawan benar-benar tak gajian selama 18 bulan. Selama 1,5 tahun, mereka hanya berbagi dari pendapatan rekening air yang diterima, yang nilainya sangat kecil. Dalam kondisi itu, sebagian karyawan melakukan “agenda sisipan” berupa penyambungan yang tidak memenuhi standar teknis.
Berdasarkan data seadanya, kami berdiskusi intens. Dari akumulasi bahan itu, saya memahami mengapa penunggakan gaji terjadi. Ternyata, perusahaan tidak dijalankan sebagaimana mestinya. Tidak ada laporan keuangan dan laporan pengelolaan pelanggan yang baik, rapi, dan akurat. (bersambung)