DPD RI – Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti menyoroti maraknya produk impor yang masuk ke Indonesia yang merupakan konsekuensi dari perjanjian perdagangan.
Selain itu, masuknya secara deras produk impor ke dalam negeri juga imbas dari booming e-commerce di era liberalisasi saat ini.
“Sebaliknya, hal ini mesti menjadi tantangan yang melahirkan inovasi dan meningkatkan kuantitas dan kualitas produk dalam negeri,” tutur LaNyalla dalam keterangan resminya, Selasa (9/3/2021).
Ia melanjutkan, perjanjian perdagangan bebas yang diteken pemerintah harus diikuti dengan kebijakan display produk dalam negeri di bagian depan etalase di supermarket atau mall.
“Jadi ini adalah tantangan dan konsekuensi dari suatu perjanjian perdagangan bebas di mana Indonesia ada di dalamnya. Kita harus jadikan hal ini untuk memantik produktivitas produk lokal,” harap alumnus Universitas Brawijaya Malang tersebut.
Saat ini, mantan Ketua Umum PSSI itu melanjutkan, pemerintah memberikan perhatian besar terhadap UMKM. Hal itu dibuktikan dengan kucuran bantuan agar mereka bisa naik kelas.
“Ini harus bisa dimanfaatkan dengan serius agar kita bisa eksis dalam perdagangan bebas, bukan malah menjadi khawatir karena maraknya produk impor,” sebut Senator Dapil Jawa Timur tersebut. LaNyalla menyerukan kepada pelaku usaha dan industri untuk menangkap peluang yang besar dan harus tetap optimis.
Seperti diberitakan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) beberapa hari lalu menggaungkan kampanye agar masyarakat benci produk asing dalam rangka mendukung produk dalam negeri. Arahan ini menjadi pembicaraan hangat di masyarakat.
Peneliti Center of Industry, Trade, and Investment Indef Ahmad Heri Firdaus menilai arahan Jokowi tersebut dilatarbelakangi oleh meningkatnya impor barang konsumsi yang signifikan dalam beberapa tahun terakhir di tengah terjadinya booming e-commerce.
Ahmad mengatakan, peningkatan impor barang konsumsi memang sangat cepat jika dibandingkan dengan impor bahan baku atau penolong dan barang modal, meski porsinya dari total barang impor sekitar 10 persen.
Menurutnya, ketika terjadi booming e-commerce dan daya saing produk lokal belum matang, maka digitalisasi di tengah liberalisasi akan mengakibatkan de-industrialisasi di dalam negeri. (*)