Senator RI Minta Kejaksaan Agung Investigasi Kasus Dana Otsus hingga Pelanggaran HAM Berat Papua

DPD RI – Senator Papua Barat Dr. Filep Wamafma SH., MHum., menyampaikan sejumlah persoalan krusial di tanah Papua saat audiensi dengan Kejaksaan Agung (Kejagung) RI di Jakarta, Selasa (13/9/2022).

Pertama, Senator Filep menyoroti penanganan kasus penambangan ilegal (illegal mining) di Papua Barat yang belum berjalan maksimal. Menurutnya, penegakan hukum atas kasus ini masih berada di permukaan dan belum menyentuh para pemodal di balik praktik-praktik penambangan ilegal tersebut.

“Soal illegal mining, saya melihat aparat penegak hukum di daerah, khususnya kejaksaan disana diam dan belum bertindak selaku penegak hukum, untuk melakukan advokasi apalagi menyelesaikan masalah ini,” ungkap Filep, Selasa (13/9/2022).

“Ini harta, emas, sesuatu yang sangat berharga apabila dikelola dengan baik melalui investasi di daerah. Tetapi, ini mafia besar ada di depan mata semua para penegak hukum di daerah tapi semuanya diam, yang ditangkap pihak Kepolisian hanya pekerja, sementara pemodalnya tidak disentuh. Oleh sebab itu, saya harap kejaksaan agung juga tergerak untuk menyelesaikan kasus illegal mining di Papua Barat,” ujar Filep.

Kedua, Filep Wamafma memandang perlunya Kejagung RI membentuk tim pengawasan terhadap penggunaan Dana Otsus di tanah Papua. Ia berharap, tim ini akan turut mengawal dan memastikan dana Otsus digunakan sesuai peruntukannya berdasarkan amanat UU Otonomi Khusus bagi Papua dan Papua Barat.

“Akhir-akhir ini sejumlah kepala daerah di Papua tertangkap, bupati Mamberamo Tengah, Bupati Mimika dan kini Gubernur Papua jadi tersangka oleh KPK. Sebagai senator kami apresiasi itu. Namun, sejalan dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat Papua, maka saya meminta Kejaksaan Agung juga membentuk tim pengawas terhadap Dana Otonomi Khusus karena dana Otsus sampai saat ini belum menyentuh substansi dan kebutuhan dasar OAP,” katanya.

Lebih lanjut, Filep menekankan, tim pengawas Otsus ini juga diharapkan akan mengawal dan menjamin alokasi 10 persen Dana Bagi Hasil (DBH) Migas agar dilaksanakan sesuai penggunaannya untuk pemberdayaan masyarakat adat Papua.

“Saya berjuang melalui UU Otsus ini sehingga saat ini sebesar 10 persen Dana Bagi Hasil Migas itu dialokasikan untuk pemberdayaan masyarakat adat. Sampai saat ini saya sudah mengadvokasi, sudah meminta kepada gubernur, bupati/walikota, salurkan 10 persen itu kepada masyarakat adat, karena itu hak mereka,” ujar doktor alumnus Unhas Makassar ini.

 

 

“Sampai saat ini sudah ada transfer dana ke daerah tapi belum menyentuh masyarakat adat. Oleh sebab itu, saya juga minta Kejaksaan Agung bentuk tim untuk mengusut hal ini. Saya merasa berdosa sekali, kalau saya tahu prosesnya tapi saya tidak memperjuangkannya,” kata Filep.

Selanjutnya yang ketiga, terkait penanganan kasus-kasus pelanggaran HAM berat di Papua, Filep berharap, Komnas HAM jangan hanya dominan dalam menangani kasus-kasus yang viral tetapi juga serius menangani kasus-kasus pelanggaran HAM berat di Papua yang hingga kini belum juga terselesaikan.

“Pelanggaran-pelanggaran HAM berat di Papua harus segera diselesaikan, siapapun pelakunya adili di pengadilan HAM dan dipublikasikan secara terbuka kepada rakyat, sehingga rakyat di Papua yakin dan percaya bahwa negara memberikan jaminan untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat itu,” tegasnya.

Selain itu, Filep yang juga merupakan Ketua STIH Manokwari ini menyampaikan apresiasi atas terobosan Kejagung yang mengedepankan Restorative Justice atau keadilan restoratif. Filep berharap dalam pelaksanaannya Kejagung juga menggandeng lembaga-lembaga hukum adat di Papua.

“Saya setuju dengan Restorative Justice ini, saya harap ada kerja sama Kejagung dengan lembaga-lembaga adat dan ada petunjuk teknis tentang konsep ini, apalagi di Papua sangat lekat dengan hukum adat. Sehingga harapannya, Restorative Justice ini dapat dilaksanakan dengan baik di tanah Papua,” ujar Filep.

Filep Wamafma turut mengutarakan pandangannya tentang peran jaksa-jaksa agung dalam dunia pendidikan tinggi. Ia menekankan bahwa Jaksa harus mengajar sebagai dosen praktisi di perguruan tinggi, sehingga jaksa juga terlibat langsung dalam pembangunan SDM unggul di Papua.

“Saya ada kampus STIH Manokwari, semoga bisa dibangun pusat kajian kejaksaan di STIH Manokwari ini, sebagaimana yang sudah ada di Universitas Hasanuddin Makassar,” katanya.

Tak hanya itu, Pimpinan Komite I DPD RI ini pun berharap penerimaan khusus melalui jalur afirmasi bagi putra-putri asli Papua di Kejaksaan dapat terus berlanjut.

“Saya berharap program ini terus berjalan. Kedepan harapannya, orang asli Papua diprioritaskan menjadi jaksa di tanah Papua, sehingga putra putri asli Papua turut bertanggungjawab atas penegakan hukum di tanah Papua dan di negara Indonesia ini,” pungkasnya. (*)