BERBAGAI persoalan sosial, ekonomi, dan lingkungan masih melanda Kaltim, daerah yang telah ditunjuk Presiden Jokowi sebagai Ibu Kota Negara (IKN) Republik Indonesia.
Berikut beberapa catatan kecil tentang aspek-aspek yang perlu diperhatikan kedepannya, agar Kaltim tetap hijau, sekaligus mampu menjadi daerah yang sejahtera dan terus menyejahterakan rakyatnya.
Dalam upaya menghemat energi listrik, pemerintah provinsi dan kabupaten/kota harus menyiapkan aturan yang mewajibkan setiap gedung pemerintah dan swasta, serta hotel bintang tiga keatas, untuk melakukan upaya penghematan listrik. Juga secara bertahap beralih pada sumber energi matahari.
Pemerintah juga perlu serius mengembangkan pengolahan sampah menjadi energi listrik. Sehingga persoalan sampah “menggunung” di TPA (yang menjadi masalah klasik) justru bisa menjadi solusi. Data Dinas Lingkungan Hidup Kaltim, pada tahun 2018, wilayah Kaltim menghasilkan 832.032,1 ton sampah, yang dalam sehari mencapai 2.279,54 ton. Ini menjadi masalah sekaligus potensi.
Untuk menjaga ketersedian air tanah, disebabkan kian berkurangnya daerah resapan air khususnya di perkotaan dan permukiman penduduk, pemerintah perlu mengkaji kembali sistem drainase yang ada selama ini. Sistem drainase selalu berujung pada sungai/laut. Sebaiknya dibuat sistem yang vertikal agar air masuk ke dalam tanah.
Tanpa penanganan yang baik, curah hujan tinggi hanya berujung banjir. Namun dengan langkah yang tepat, curah hujan yang tinggi dan air yang melimpah justru akan menjadi cadangan air yang bisa dimanfaatkan. Selain itu, pemerintah perlu mewajibkan setiap gedung-gedung pemerintah dan swasta, serta permukiman memiliki area sumur resapan air atau recharge well.
Tambang batu bara dan perkebunan merupakan permasalahan terbesar yang menyebabkan berkurangnya ketersedian air tanah dan rusaknya kelestarian hutan. Kita sudah memiliki berbagai regulasi yang rinci, namun pengawasan di lapangan seringkali tidak berjalan baik.
Komitmen menjalankan good mining practices dan pengelolaan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan harus benar-benar dijaga oleh pelaku usaha dan selalu diawasi ketat oleh pemerintah. Jangan ada “main mata” yang membuat pelanggaran di lapangan seolah baik-baik saja. Jangan pula praktik “pungli dan upeti” terus dibiarkan.
Saya memandang reklamasi bekas tambang atau HPH belum dilakukan dengan baik. Untuk persoalan tambang, data dari NGO tahun 2018 menunjukkan terdapat 1.735 lubang tambang yang dibiarkan menganga di Kaltim. Termasuk keberadaan 158 konsesi batu bara di dekat kawasan calon Ibu Kota Negara (IKN), yang masih menyisakan 94 lubang tambang.
Ada apa sebenarnya? Mengapa perusahaan tidak melakukan back filling (menimbun kembali material overburden di dalam lubang bukaan bekas tambang dimana bahan galian tambang telah selesai diambil)? Kalaupun mereka tidak menimbun sendiri, bagaimana kabar dana jamrek yang sudah disetorkan pada negara? Ancaman “cabut izin” yang berulang kali disampaikan pun seolah tak berefek.
Belum lagi masalah illegal mining dan illegal logging yang terus terjadi. Jangan sampai aparat penegak hukum melakukan tebang pilih dalam menindak pelaku tambang dan penebang ilegal. Termasuk kasus yang mengemuka beberapa pekan terakhir tentang dugaan tambang ilegal di dekat waduk Samboja, yakni di kawasan Tahura. Saya berharap pemerintah dan aparat berwenang bisa menegakkan aturan secara fair dan terang benderang tanpa tebang pilih.
Pengawasan terhadap pertambangan dan perkebunan harus diperketat. Pemerintah pusat dan daerah, bersama aparat penegak hukum, dengan melibatkan LSM dan masyarakat, perlu membentuk tim terpadu dalam menyelesaikan permasalahan illegal mining dan illegal logging ini. Tim-tim lama yang sudah dibentuk pun harus menjalankan tugasnya secara jujur, amanah, dan bertanggung jawab.
Dalam konteks yang lebih luas, saya memandang, lebih baik pemerintah daerah di Kaltim mengambil alih semua lahan tambang yang sudah tidak termanfaatkan untuk dijadikan lahan pertanian. Apalagi Kementerian Pertanian telah menyampaikan harapan agar pemda di Kaltim dapat menyiapkan 50.000 hektar lahan yang difungsikan sebagai area pertanian.
Kementerian pertanian siap membantu menggarap bersama lahan pertanian tersebut. Hal ini disampaikan langsung oleh Menteri Pertanian kepada saya pada saat rapat kerja Kementerian Pertanian dengan Komite 2 DPD RI.
Dalam konteks revegetasi, saya mengkritik karena yang banyak ditanam justru jenis tanaman hutan biasa seperti sengon dan jabon. Seharusnya ditanam tanaman hutan asli Kalimantan; seperti ulin, meranti, bangkirai, jati. Jenis tanaman ini wajib ditanam kembali serta dilakukan pemeliharaan yang memadai. (*)
*Aji Mirni Mawarni, Anggota MPR/ Komite II DPD RI Periode 2019-2024 Dapil Kaltim