SAAT ini pemerintah pusat maupun daerah terus berkolaborasi mengekang penyebaran Covid-19 yang trend-nya masih meningkat. Kemungkinan trend ini akan meningkat kian tajam seiring datangnya alat tes PCR di beberapa daerah di Indonesia, termasuk Kaltim. Semakin besar jumlah warga yang menjalani tes swab, maka kemungkinan besar semakin tinggi angka kasus positif Covid-19.
Saya menyoroti beberapa hal teknis terkait penanganan Covid-19 dari aspek sosial-ekonomi (non-medis).
Pertama, yakni tentang Kartu Prakerja. Program ini kian bergeser dari awalnya untuk para pencari kerja, menjadi program penanganan untuk korban PHK. Data dari Disnakertrans Kaltim, awal Mei 2020, pekerja yang kena PHK di Kaltim sebanyak 1.627 orang dari 113 perusahaan, dan pekerja yang dirumahkan 7.926 orang dari 213 perusahaan. Total sebanyak 9.553 orang.
Beberapa orang di Kaltim, yang menginformasikan langsung kepada saya, hampir semua tidak lulus ujian prakerja. Padahal syarat administratif lengkap dan ujiannya relatif mudah. Apa kriteria kelulusan dan berapa kuota Kaltim yang sudah terserap sulit kita ketahui, karena semuanya ditangani dan dikendalikan pusat. Kita tidak tahu berapa jumlah korban PHK Kaltim yang sudah dibantu dalam program ini. Saya menilai perlu evaluasi menyeluruh terhadap Program Kartu Prakerja ini.
Saya sependapat dengan wacana yang dikemukakan beberapa pakar bahwa program Kartu Prakerja semestinya dipegang oleh daerah. Daerah-lah yang tahu soal data penduduk dan karakteristiknya. Seharusnya anggaran yang totalnya Rp20 triliun itu diberikan saja kepada pemerintah daerah, sehingga bisa menyalurkan kepada korban PHK agar lebih tepat sasaran.
Nantinya, pemerintah pusat tinggal memberikan petunjuk teknis dan melakukan pengawasan. Pelatihan online yang dibiayai APBN sebesar Rp5,6 triliun juga tidak begitu dibutuhkan oleh para korban PHK saat ini. Apalagi layanan serupa juga begitu mudah didapat secara gratis.
Kedua, terkait larangan mudik, tapi bandara dibuka. Seharusnya pemerintah menyiapkan informasi yang jelas, mengapa tidak boleh mudik, disertai aturan yang benar-benar tegas dan konsisten. Kalau memang melarang mudik, jangan dibuka bandaranya. Saat ini sebagian masyarakat bingung, sebagian cari kesempatan untuk cepat-cepat mudik, meskipun berisiko menularkan wabah di kampung halaman.
Belakangan menguat agenda masuknya tenaga kerja asing ke RI; di saat warga dilarang mudik, dan di momen banyaknya korban PHK. Apakah tepat mendatangkan TKA di momen-momen rawan penularan Covid-19 saat ini? Kalau yang didatangkan bukan tenaga ahli, alangkah baiknya jika dilakukan perekrutan warga lokal yang menjadi korban PHK, kemudian dilakukan pelatihan secara efektif.
Ketiga, soal kebijakan kelonggaran kredit. Pemerintah memutuskan melonggarkan kredit kendaraan dan UMKM maksimal selama 1 tahun. Terutama bagi warga kelas menengah ke bawah yang terdampak Covid-19. Pemerintah pusat harus memastikan apakah benar kebijakan ini sudah dilaksanakan di daerah. Kalaupun sudah diberlakukan di daerah, harus dipastikan pihak lembaga keuangan, baik perbankan maupun industri keuangan non-bank, melaksanakannya.
Saya mendengar langsung dari beberapa rider ojek online yang punya cicilan motor, sudah urus ke lembaga keuangan, tapi ditolak. Jangan sampai persoalan ini seolah sudah menjadi “kabar gembira” dan stimulan bagi warga terdampak Covid-19, tapi syarat dan ketentuannya tidak jelas. Jangan sampai pula leasing membuat mekanisme membingungkan yang justru mempersulit bahkan menjebak warga.
Keempat, terkait edaran pembatasan aktivitas warung makan di beberapa daerah di Kaltim. Edaran ini secara faktual belum banyak dipahami oleh warga. Sebagian yang saya pantau langsung, terutama warung-warung kecil, memutuskan menutup warungnya. Mereka tidak tahu bahwa mereka masih diizinkan beraktivitas, asalkan tidak melayani makan di tempat (dibawa pulang).
Mereka takut kalau tetap buka mendapat sanksi, sedangkan Restaurant masih tetap buka meskipun sebagian tidak melayani makan ditempat.
Dan kaki lima di Tepian Mahakam, sudah hampir 2 bulan mereka tidak jualan, disisi lain kaki lima diluar Tepian dan pasar-pasar tradisional masih bisa berjualan.
Setelah satu bulan tidak buka, pedagang kaki lima di Tepian ini kehabisan modal dan mengalami kesulitan ekonomi. Akhirnya mereka membuka posko bantuan sembako.
Saya berharap Pemerintah bisa bijak menyikapi hal ini dengan tidak tebang pilih. Artinya, pemerintah juga perlu melakukan pendekatan yang simpatik dan edukatif terhadap pelaku usaha kecil, sehingga mereka benar-benar memahami koridor pembatasan yang diberlakukan pemda. (*)
*Aji Mirni Mawarni, Anggota MPR/ Komite II DPD RI Periode 2019-2024 Dapil Kaltim